Hamid Alkadrie yang kemudian didapuk jadi Sultan Hamid II, jadi orang pribumi dengan pangkat perwira tinggi, lantaran juga mengenyam pendidikan di KMA (Koninklijke Militaire Academie) Breda di Belanda dengan pangkat Mayor Jenderal.
Abdulkadir Widjojoatmojo sempat mencapai pangkat kolonel meski akhirnya tak pernah gabung TNI dan Oerip Soemohardjo, jadi salah satu tokoh yang paling berpengaruh di antara para serdadu KNIL pribumi, meski hanya mencapai pangkat Mayor.
Para perwira KNIL angkatan berikutnya banyak tercetak dari KMA Bandung. Beberapa nama di antaranya pilih melepas atribut KNIL mereka saat Jepang masuk ke Indonesia, seperti Abdoel Haris Nasution, Didi Kartasasmita, Soeriadarma, Tahi Bonar Simatupang, Adolf Lembong, hingga Alex Evert Kawilarang.
Sementara pada 1942, para kombatan KNIL lainnya terpaksa vakum lantaran kalah dari Jepang yang kemudian berganti berkuasa di Indonesia. Tapi kekuatan KNIL kembali dibangun, segera pasca-Jepang menyerah tiga tahun kemudian.
Di saat kembali membangun kekuatan itulah, pemerintah Hindia-Belanda “memanggil” lagi para pribumi untuk masuk KNIL. Beberapa di antara mereka menolak dan pilih masuk barisan kelaskaran atau Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Sedangkan yang lainnya–yang menganggap Republik Indonesia yang baru lahir takkan mampu bertahan lama, akhirnya kembali masuk KNIL. Sejumlah bentrokan harus dilakoni dengan saudara sendiri selama kurang lebih lima tahun lamanya.