JAKARTA - Peristiwa berdarah G30S tahun 1965 memisahkan Francisca Fanggidaej dari anak-anaknya yang masih bocah, karena dia tidak dapat pulang setelah paspornya dicabut.
Suasana di pagi hari di awal Oktober 1965 itu semestinya tak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Enam bocah itu, dan satu orang lagi yang beranjak remaja, biasanya mengisi waktu luang dengan bermain usai pulang sekolah.
BACA JUGA:Kasus Brigadir J, Sidang Etik Ipda Arsyad Tetap Dilanjutkan Meski Saksi Kunci Tak Hadir
Dan pagi itu terlihat normal-normal saja, kecuali kerisauan Savitri Sasanti Rini, salah-seorang bocah, ketika memergoki ayahnya terlihat gelisah sehari sebelumnya.
Walaupun begitu, bocah berusia tujuh tahun itu tak berpikir bahwa gelagat ayahnya itu terkait dengan kejadian genting beberapa hari sebelumnya yang juga tidak dia pahami.
Santi, panggilan anak kelima ini pun tak pernah membayangkan peristiwa di hari-hari itu akan membuat dia dan enam saudaranya bakal terpisah belasan hingga puluhan tahun dengan ayah dan ibunya.
BACA JUGA:Maket Rumah Persembunyian Pemimpin Al-Qaeda Diungkap CIA
Pagi itu, ketika Santi dan saudara-saudaranya bermain di dalam rumah, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah halaman depan. "Keluar! Keluar!"
Beberapa tentara bersenjata lengkap turun dari truk dan mencari ayahnya. Ketakutan mulai merayapi bocah-bocah itu. Ayahnya lantas diciduk rombongan tentara.
"Kita hanya bisa menangis, (seraya setengah berteriak) 'Bapak, bapak, bapak kenapa?'" kata Santi dilansir dari BBC, Senin (26/9/2022).
Dihantui ketakutan, pertanyaan tanpa ada jawaban ini kemudian mengiringi kepergian ayahnya, Supriyo, jurnalis kantor berita Antara yang dinaikkan ke dalam truk.
Mereka saat itu tak tahu dibawa ke mana ayahnya, belasan tahun kemudian barulah diketahui ayahnya dibui di penjara Salemba, Jakarta, tanpa diadili karena dikaitkan pilihan politik ibu anak-anak itu.
Sang ibu, Francisca Fanggidaej adalah anggota DPR Gotong Royong yang ditunjuk Presiden Sukarno dari wakil golongan wartawan sejak 1957, dia jurnalis Kantor Berita Antara dan memimpin INPS (Indonesian National Press Service).
Sebelumnya, pada periode Revolusi Kemerdekaan, dia terlibat aktif memperjuangkan kemerdekaan dalam diplomasi di pelbagai forum internasional.
Ketika gonjang-ganjing G30S meletus, dan saat suaminya ditangkap di hadapan anak-anaknya yang ketakutan, dia sedang bertugas di luar negeri.