JAKARTA – KTT G20 menjadi momentum Indonesia sebagai jembatan perdamaian. Indonesia sebagai pemegang presidensi G20 di tahun ini memiliki kesempatan yang baik untuk memaksimalkan langkah diplomasinya.
(Baca juga: Amankan G-20, Kakorlantas Polri Cek Kesiapan Kendaraan Listrik)
Dengan mengusung tema "Recover Together, Recover Stronger", Indonesia mengajak seluruh dunia untuk bahu-membahu memulihkan perekonomian global yang berkelanjutan. Isu transisi energi dinilai salah satu pilar isu dalam KTT G20.
“Transisi energi tidak lepas dari landasan sosiologis mengenai konsep keadilan sosial kepada seluruh masyarakat indonesia hingga daerah tertinggal, terdepan dan terluar dalam menikmati energi,” ujar Ketua Dewan Pembina Pimpinan Pusat Kesatria Muda Respublika, Iwan Bento Wijaya dalam sebuah diskusi memperingati Hari Sumpah Pemuda, Jumat (28/10/2022).
Iwan menjelaskan bahwa isu transisi energi itu dilatarbelakangi oleh adanya semangat dunia pada penandatanganan perjanjian Paris di tahun 2016 (High-Level Signature Ceremony for the Paris Aggrement).
"Menindaklanjuti Paris Aggrement pada tahun 2017 Bank Dunia menstop pendanaan bisnis bahan bakar fosil di tahun 2019,” ujarnya.
“Serta Presiden Joko Widodo mengatakan pada pidatonya di acara KTT PBB 1 November 2021 terkait perubahan Iklim yaitu sektor yang semula menyumbang 60% emisi indonesia akan mencapai karbon net pada tahun 2030," tambah Iwan.
Dia juga memaparkan mengenai berbagai macam potensi Indonesia dalam pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dengan melakukan penguatan industri hulu dan hilir dalam pengembangan EBT.
Pengembangan itu, kata dia dimulai dari industrial bahan baku EBT, melakukan percepatan infrastruktur hukum transisi energi guna memberikan kepastian hukum dalam menciptakan iklim iventasi yang baik hingga penerapan dan problematika gagasan power wheeling.
Di sisi lain, penguatan hulu dan hilir pada proses transisi energi harus berbanding lurus dengan kepastian hukum yang berlaku, yakni Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan.
Dalam Perpres tersebut, disebutkan bahwa penyediaan tenaga listrik adalah salah satu komitmen pemerintah dalam mencipkan kepastiaan hukum pada proses transisi energi.
Namun, terkait pengaturan harga untuk tenaga listrik yang bersumber dari EBT serta konversi energi sedang dalam tahap pembahasan oleh pemerintah dengan bentuk Rancangan Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (RUU EBT).
Sementara itu, Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Harris mengatakan bahwa regulasi penting dalam menyongsong percepatan pengembangan EBT untuk penyediaan tenaga listrik.
Sebab, transisi energi merupakan komitmen pemerintah dalam rangka penurunan emisi, serta energi bersih dari panas matahari, panas bumi, angin, ombak laut dan energi bio akan menarik industrialisasi penghasil produk-produk rendah emisi.
"Komitmen Kementerian ESDM pada G20 terletak pada fokus transisi menuju energi yang berkelanjutan," terang Haris.
(Fahmi Firdaus )