JAKARTA - Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) dinilai bertentangan dengan UU Polri.
Diketahui dalam UU tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diberi kewenangan khusus sebagai lembaga satu-satunya yang dapat menyidik tidak pidana sektor jasa keuangan.
Pakar Hukum Tata Negara Muhammad Rullyandi mengatakan dalam penyidikan tindak pidana ada dua lembaga. Yakni lembaga utama dan sistem pendukung.
"Dalam hal ini, Polri sebagai Lembaga utama dalam penyidikan sedangkan OJK support system," kata Rully, Jumat, (6/1/2023)
Menurut Rully pengembangan UU tersebut keliru. "Akan mencerminkan indikasi penyimpangan pelanggaran," pungkasnya.
Rully menjelaskan OJK merupakan lembaga negara independen yang dibentuk dalam suasana reformasi dibidang perekonomian melalui UU 21 tahun 2011 tentang OJK (UU OJK).
UU OJK tersebut memberikan pengaturan dalam kewenangan penyidikan sebagaimana tertuang dalam bab ketentuan umum Pasal 1 Angka 1 tentang definisi OJK.
"Kedudukan hukum kewenangan OJK dalam penyidikan merupakan supporting system yang terbatas dibidang sektor jasa keuangan dan pengaturan mengenai penempatan Penyidik Polri dan Penyidik PPNS pada lembaga OJK," ujarnya, Jumat, (6/1/2023).
Seiring berjalannya waktu, pembentuk UU telah memperluas peranan OJK di bidang sektor jasa keuangan dengan pendekatan omnibus law dalam pembentukan UU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Salah pembahasannya mengenai keberadaan norma ketentuan Pasal 49. Dimana pasal tersebut memperluas definisi penyidik yang terdiri tidak hanya Penyidik Polri dan Penyidik PPNS.
"Namun juga mengadopsi Penyidik Pegawai Tertentu yang diangkat oleh OJK sebagai Penyidik OJK, serta penyidikan hanya dapat dilakukan oleh penyidik OJK," ucapnya
Dengan demikian, lanjut Rully yang perlu difahami bahwa Negara telah menempatkan keberadaan Polri sebagai lembaga utama Kewenangan absolut sepanjang berkaitan dengan Harkamtibmas dan Penegakan Hukum dibidang fungsi penyidikan dalam sistem ketatanegaraan di indonesia.
Kata dia, fungsi utama penegakan hukum dalam pelaksanaan kewenangan penyidikan Polri telah dijamin dalam ketentuan Pasal 30 Ayat 4 UUD 1945bdam bersifat Konstitusi.
"Pendelegasian kewenangan atributif Fungsi penegakan hukum Polri merujuk pada Ketentuan Pasal 14 UU Polri yang menegaskan kewenangan Polri dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk semua tindak pidana sesuai hukum acara pidana dan peraturan perundang - undangan lainya," katanya.
Disamping itu, Fungsi penegakan hukum polri sebagai Penyidik juga diatur dalam Kitab Hukum Acara Pidana.
Pada Ketentuan Pasal 6 KUHAP menegaskan Penyidik Polri sebagai Koordinator penyidik PPNS yang dengan demikian melahirkan hubungan mekanisme checks and balances system dalam wujud koordinasi dan supervisi (Korsup) pengawasan oleh Penyidik Polri terhadap Penyidik PPNS.
Oleh sebab itu, dia menilai bahwa Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) dinilai bertentangan dengan Konstitusi Pasal 30 Ayat 4, UU Polri Pasal 14 dan Ketentuan Pasal 6 Hukum Acara Pidana KUHAP yang tidak mengenal keberadaan Penyidik Pegawai Tertentu.
"Keberadaan eksistensi Penyidik di dalam pelaksanaan kewenangan penyidikan oleh OJK harus tetap tunduk terhadap Ketentuan Pasal 6 KUHAP dalam bingkai checks and balances koordinasi dan supervisi yang menjadi rujukan hukum acara (KUHAP Pasal 6) dalam bidang penanganan tindak pidana khusus," tegasnya.
Rully menuturkan, peran independensi kelembagaan OJK tidak dapat ditafsirkan berdiri sendiri dalam arti hubungan kelembagaan dengan institusi polri sebagai alat negara lembaga utama dalam bidang penegakan hukum yang memiliki derajat legitimasi konstitusional dalam hal kewenangan Penyidik dan Penyidikan semua tindak pidana.
Hal demikian sejatinya telah dirumuskan secara konsisten oleh pembentuk undang - undang sejak melahirkan UU OJK 2011 terkait dengan penempatan keberadaan penyidik OJK yang "Melibatkan" Penyidik Polri.
(Khafid Mardiyansyah)