MOSKOW - Rusia mungkin akan terpaksa memindahkan ibu kotanya ke Siberia karena perubahan iklim, seorang ahli dari cabang World Wildlife Fund (WWF) di negara itu memperingatkan.
Aleksey Korkorin, kepala iklim dan energi di WWF Rusia, mengatakan pada Selasa, (23/5/2023) bahwa meskipun tujuan untuk mencapai "netralitas karbon" dapat dicapai di seluruh dunia pada awal tahun 2060-an, suhu global masih akan naik 2-2,5C pada saat itu, dibandingkan dengan era pra-industri.
Peningkatan tersebut akan mengakibatkan gelombang panas besar lebih sering menghantam planet ini, kata Kokorin kepada RIA Novosti.
“Artinya, panas yang biasa kita alami setiap sepuluh tahun sekali akan datang setiap tiga tahun. Anda bisa hidup, tetapi Anda harus beradaptasi,” katanya sebagaimana dilansir RT.
Dalam skenario terburuk, suhu global mungkin akan naik 4,5-5C sebelum umat manusia dapat mencapai tujuan "netralitas karbon". Peningkatan seperti itu akan membuat setiap delapan atau sembilan musim panas dari sepuluh musim panas menjadi sangat panas, kata Kokorin. Bagi Rusia, skenario ini bisa mengakibatkan ibu kota dipindahkan dari Moskow.
“Ini hanya kehidupan yang berbeda, yang berarti bahwa di musim panas mungkin tidak mungkin untuk tinggal di kota metropolis seperti Moskow. Mungkin saja jika benar-benar seburuk itu, maka ibu kotanya adalah, katakanlah, Krasnoyarsk atau Novosibirsk,” saran Kokorin, mengacu pada dua kota besar di Siberia. Pada saat yang sama, dia mengakui bahwa kemungkinan situasi iklim yang memburuk dengan cepat masih cukup kecil.
Namun, ahli iklim lainnya menyatakan keraguan atas kekhawatiran Kokorin terhadap nasib ibu kota Rusia. Aleksander Chernokulsky, seorang rekan senior di Institut Fisika Atmosfer, menolak prediksi tersebut sebagai “kata-kata belaka” yang tidak boleh dianggap serius.
"Gelombang panas kemungkinan besar akan lebih sering terjadi, ya, tetapi akan lebih sering terjadi di Siberia juga," kata ilmuwan tersebut kepada RBC.
(Rahman Asmardika)