BERDASARKAN Kepercayaan yang hidup di sebagian besar masyarakat Sunda, sebelum Prabu Siiwangi nga-hyang atau menghilang bersama para pengikutnya, beliau meninggalkan pesan atau wangsit yang dikemudian hari dikenal sebagai “Wangsit Siliwangi”.
Wangsit, yang bagi sebagian masyarakat Sunda itu sarat dengan filosofi kehidupan, menjadi semacam keyakinan bahwa Prabu Siliwangi telah bermetamorfosa menjadi Maung (Harimau) setelah Tapadrawa (bertapa hingga akhir hidup) di hutan belantara. Bagaimana kisah sebenarnya?
Simbol Harimau atau Maung dalam masyarakat Sunda terkait erat dengan legenda menghilangnya (nga-hyang) Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran yang dipimpinnya pasca penyerbuan pasukan Islam Banten dan Cirebon yang juga dipimpin oleh keturunan Prabu Siliwangi.
Hiski Darmayana, Kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan Alumni Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran dalam tulisannya berjudul "Prabu Siliwangi Dan Mitos Maung Dalam Masyarakat Sunda" menuliskan, konon, untuk menghindari pertumpahan darah dengan anak cucunya yang telah memeluk Islam, Prabu Siliwangi beserta para pengikutnya yang masih setia memilih untuk tapadrawa di hutan sebelum akhirnya nga-hyang.
BACA JUGA:
Kisah bermula pada masa kekuasaan Raga Mulya dari kerajaan Pajajaran, tahun 1579, Pajajaran mengalami kehancuran akibat serangan pasukan Kesultanan Banten yang dipimpin Maulana Yusuf.
Peristiwa tersebut tercatat dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219, sebagai berikut :
"Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa punjul siki ikang cakakala". (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8 Mei 1579 M).
Prabu Raga Mulya beserta para pengikutnya yang setia tewas dalam pertempuran mempertahankan Ibu Kota Pajajaran yang ketika itu telah berpindah ke Pulasari, sekadarn Pandeglang.
Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa keruntuhan kerajaan Pajajaran terjadi pada tahun 1579 atau 58 tahun setelah Prabu Siliwangi wafat. Berarti Prabu Siliwangi tidak pernah mengalami keruntuhan Kerajaan yang telah dipersatukannya.
BACA JUGA:
Raja yang mengalami kehancuran Kerajaan Pajajaran adalah Prabu Raga Mulya yang merupakan keturunan kelima Prabu Siliwangi atau janggawarengnya Prabu Siliwangi.
Sementara Prabu Raga Mulya sendiri gugur dalam perang melawan Banten. Raja Pajajaran terakhir ini memang nga-hyang, namun bukan menjadi maung sebagaimana diyakini masyarakat Sunda selama ini melainkan gugur di medan tempur.
Dari serangkaian bukti sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa mitos penjelmaan Prabu Siliwangi dan sisa-sisa prajurit Pajajaran menjadi harimau hanya sekedar mitos dan bukan fakta sejarah.
Lalu dari mana mitos maung Prabu Siliwangi dan Pajajaran ? Peneliti Belanda, Scipio, kepada Gubernur Jenderal VOC, Joanes Camphuijs melaporkan mengenai jejak sejarah istana Kerajaan Pajajaran di kawasan Pakuan (daerah Batutulis Bogor sekarang).
Laporan penelitian yang ditulis pada tanggal 23 Desember 1687 tersebut berbunyi “dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort”.
Artinya, bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa” Pajajaran, masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau.
Bahkan kabarnya salah satu anggota tim ekspedisi Scipio pun menjadi korban terkaman harimau ketika sedang melakukan tugasnya.
Temuan lapangan ekspedisi Scipio itu mengindikasikan bahwa kawasan Pakuan yang ratusan tahun sebelumnya merupakan pusat kerajaan Pajajaran telah berubah menjadi sarang harimau.
Hal inilah yang menimbulkan mitos-mitos bernuansa mistis di kalangan penduduk sekitar Pakuan mengenai hubungan antara keberadaan harimau dan hilangnya Kerajaan Pajajaran.
Berdasarkan pada laporan Scipio ini, dapat disimpulkan bila mitos maung lahir karena adanya kekeliruan sebagian masyarakat dalam menafsirkan realitas.
Sesungguhnya, keberadaan harimau di pusat Kerajaan Pajajaran bukanlah hal yang aneh, mengingat kawasan tersebut sudah tidak berpenghuni pasca ditinggalkan sebagian besar penduduknya di pengujung masa kekuasaan Prabu Nilakendra—ratusan tahun sebelum tim Scipio melakukan ekspedisi penelitian.
Sepeninggal para penduduk dan petinggi kerajaan, wilayah Pakuan berangsur-angsur menjadi hutan. Bukanlah suatu hal yang aneh bila akhirnya banyak harimau bercokol di kawasan yang telah berubah rupa menjadi leuweung tersebut.
(Furqon Al Fauzi)