Islam di Indonesia Beda dengan Timur Tengah, Ini Keistimewaannya

Angkasa Yudhistira, Jurnalis
Minggu 04 Mei 2025 11:20 WIB
Islam di Indonesia Beda dengan Timur Tengah, Ini Keistimewaannya (Foto: Istimewa)
Share :

JAKARTA – Sejumlah pakar Islam melakukan pertemuan dengan lima akademisi Vietnam yang berasal dari lembaga pengkaderan pemimpin Vietnam dari Institut Etnisitas dan Agama di bawah Akademi Nasional Politik Ho Chi Minh. Salah satu topik diskusi yang menarik dalam pertemuan itu mengenai karakteristik Islam di Indonesia yang berbeda dengan Islam di negara-negara lain seperti Timur Tengah dan Arab.

Kelima akademisi Vietnam berada di Indonesia pada 1-3 Mei 2025 untuk mempelajari program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang diadakan oleh Institut Leimena dan berbagai lembaga pendidikan, keagamaan, dan pemerintah Indonesia.

Para pakar yang hadir merupakan Senior Fellow Institut Leimena yang juga pengajar dalam program LKLB, yaitu Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Dr. Amin Abdullah, Menteri Luar Negeri 1999-2001, Dr. Alwi Shihab, dan Duta Besar Republik Indonesia untuk Uzbekistan dan Kyrgyzstan, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin. 

“Ketika kita bicara dialog antar agama, kerukunan antar agama, kerja sama antar agama, itulah Indonesia. Indonesia tidak bisa disebut negara sekuler seperti Barat karena tradisinya menjunjung tinggi agama, tapi pendiri bangsa, Ir. Soekarno mengatakan bahwa ketuhanan di Indonesia adalah ketuhanan yang berkebudayaan, berbudi luhur,” kata Amin Abdullah seperti dikutip, Minggu (4/5/2025).

Amin, yang merupakan peraih Habibie Prize 2024 untuk bidang filsafat, agama, dan kebudayaan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyatakan 87 persen penduduk Indonesia beragama Islam, namun para pendiri bangsa tidak menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Menurutnya, karakter Islam di Indonesia berbeda dengan negara lain, karena Islam di Indonesia tumbuh dari tiga pilar kebangsaan, yaitu etnoreligius, deklarasi Sumpah Pemuda tahun 1928, dan Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa.

Amin menjelaskan Indonesia berasal dari komunitas etnoreligius yang tumbuh sangat kuat selama berabad-abad. Fakta bahwa Indonesia terdiri dari 17.000 pulau yang memiliki berbagai macam bahasa, aliran kepercayaan, dan adat istiadat, membuat masyarakatnya terbiasa hidup dalam kemajemukan. Puncaknya pada tahun 1928 saat para pemuda Indonesia mendeklarasikan Sumpah Pemuda, yaitu satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, dilanjutkan perumusan Pancasila.

“Di Indonesia organisasi sosial keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama berusia lebih tua dari negara, namun saat ada usulan untuk menghapus kata ‘menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dalam sila ke-1 Pancasila, bisa terjadi titik temu. Jika saat itu umat Islam di Indonesia rigid, eksklusif, maka tidak akan ada Indonesia sebagai negara modern,” ujar mantan rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut.

 

Amin menceritakan pengalamannya bersama Institut Leimena dan beberapa tokoh Islam, yaitu Alwi Shihab dan Azyumardi Azra, berkeliling Eropa dan Amerika Serikat pada 2017 untuk memperkenalkan Islam moderat dari Indonesia dan Pancasila.

“Setelah tur internasional 1,5 bulan penuh berdiskusi ke Inggris, Jerman, Prancis, Belanda, kemudian di Amerika ke New York, Washington DC, Los Angeles, sampai akhirnya buah dari perjalanan panjang itu adalah program yang kita sebut Literasi Keagamaan Lintas Budaya," ujar Amin.

Masalah Penafsiran

Mantan Menlu RI, Dr. Alwi Shihab, mengatakan Islam pada hakikatnya hanya satu karena memiliki kitab suci dan Nabi yang sama. Namun, perbedaan terjadi karena penafsiran yang berbeda, bahkan kadang bisa menyebabkan konflik berdarah. Alwi mencontohkan perang yang terjadi antara Irak dan Iran yang berlangsung selama delapan tahun. Konflik senada juga pernah terjadi antar agama berbeda, seperti Perang Salib antara umat Islam dan Kristen.

“Kalau kita menelusuri sejarah, kita akan melihat tidak ada satu agama pun yang membenarkan konflik berdarah. Tapi hal itu terjadi sampai sekarang karena perbedaan penafsiran dan yang menjadikan konflik lebih sulit diatasi adalah afiliasi politik,” kata Alwi.

Alwi mengatakan program LKLB yang diadakan Institut Leimena berusaha memberikan pencerahan bahwa paling utama adalah tidak boleh memusuhi suatu agama. Dia menambahkan tiga kompetensi yang diajarkan dalam program LKLB yaitu pertama, kompetensi pribadi, artinya setiap penganut agama harus benar-benar memahami dan mengerti ajaran agamanya. 

Kedua, kompetensi komparatif, yaitu mencari titik temu dalam perbedaan agama dengan menumbuhkan empati satu sama lain. Ketiga, kompetensi kolaboratif, yaitu titik temu yang ada harus menjadi landasan untuk bekerja sama.

"Banyak feedback dari peserta LKLB bahwa mereka lebih nyaman berhubungan dengan kelompok lain setelah memahami tiga kompetensi itu," kata Alwi yang juga mantan Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Dubes RI untuk Uzbekistan dan Kyrgyzstan, Siti Ruhaini, mengatakan energi yang dibutuhkan Indonesia untuk bisa hidup berdampingan jauh berkali-kali lipat dibandingkan Vietnam yang sifatnya lebih homogen. Di Indonesia, agama menjadi hal penting, sehingga dibutuhkan adanya sistem demokrasi agar tidak tercipta perang klaim kebenaran masing-masing agama. 

“Demokrasi mengubah cara kita melihat perbedaan, mendasari semua upaya yang kita harus lakukan dan menjadi landasan kerja-kerja masyarakat sipil termasuk Institut Leimena dalam program LKLB,” kata Ruhaini.

(Angkasa Yudhistira)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya