Bayangkan perpustakaan, hening, lengang, tumpukan buku kusam, petugas yang kaku, dan tempat yang dikunjungi karena keharusan. Sekarang bayangkan pusat belanja modern (mall), berisik, ramai, pajangan tertata rapi, dan tempat yang dikunjungi karena menyenangkan.
Perbedaan yang seperti bumi dan langit ini seakan tidak bisa disatukan -setidaknya sebelum anda membaca tulisan ini. Di balik perbedaan-perbedaan ada kekuatan besar di masing-masing tempat publik itu. Dengan menggabungkan kekuatan dan potensi yang dimiliki perpustakaan dan mall, masyarakat akan memiliki perpustakaan yang menyenangkan dan sekaligus mall yang mencerdaskan.
Kebutuhan Membaca
Setiap orang butuh buku dan harus membaca. Beberapa membeli buku dan membaca karena terpaksa dan lainnya untuk rekreasi dan hiburan. Tidak banyak yang membedakan minat baca manusia satu dengan lainnya, semuanya terdorong untuk mendapatkan informasi, pengetahuan, atau kesenangan dari membaca.
Kebutuhan ini lebih kentara di masyarakat perkotaan. Untuk dapat terus bertahan dalam ketatnya persaingan, setiap orang harus terus membangun potensi dirinya melalui asupan informasi yang berkelanjutan. Kebutuhan akan asupan informasi ini terkadang dikikis oleh minimnya dana untuk beli buku dan akhirnya pemenuhan informasi beralih pada sumber lisan dan media elektronik yang -tidak seperti dari buku- amat dangkal dan terbatas.
Perpustakaan dapat menjadi jawaban masalah ini bila pustakawan mau berpikir seperti pengusaha toko buku: menempati lokasi strategis, mengumpulkan buku laris dan populer, memberikan pelayanan prima, dan mengutamakan kenyamanan. Sama seperti perubahan yang terjadi di toko buku kita dalam lima tahun terakhir ini, perpustakaan harus selalu selaras dengan kebutuhan dan keinginan dari masyarakat yang ingin dilayaninya.
Lima tahun lalu, toko buku melarang orang membaca di toko sebelum membeli, tidak ada sofa/tempat duduk, satpam yang berkeliling di antara rak buku, petugas yang ada hanyalah kasir yang terkungkung di belakang mesin penghitung, dan tidak ada sistem pencari buku elektronik.
Namun kini semua itu tinggal kenangan. Didorong perubahan yang sama yang terjadi di awal tahun 1990 di Amerika Serikat, toko buku modern mengubah caranya melayani pengunjung secara revolusioner. Perubahan juga perlu untuk perpustakaan, dan perubahan itu harus dimulai sekarang.
Perpustakaan di Mall
Dari laporan pengelola perpustakaan yang berlokasi di berbagai mall di Amerika dan Singapura, jumlah anggota perpustakaan naik di atas 40% setelah pindah ke mall. Pengunjung mall menganggap adanya perpustakaan di dalam mall sebagai nilai tambah yang menyenangkan, sedangkan anggota perpustakaan menyatakan hal ini sebagai "sayur bayam rasa coklat: sehat dan menyenangkan". Everybody's happy!
Perpustakaan dan mall adalah dua tempat yang bisa dipadukan, keduanya memenuhi gaya hidup perkotaan yang smart dan stylish. Konvergensi kedua tempat umum ini akan membawa berbagai manfaat yang tidak terpikir sebelumnya.
Seperti burung jalak dan kerbau yang dapat hidup berdampingan dan saling memberi manfaat, perpustakaan dan mall dapat menjamin hubungan yang simbiosis mutualisme dan yang paling mendapat manfaat adalah peradaban bangsa.
Toko buku yang berada di mall yang sama tidak akan berkompetisi karena pengunjung toko buku dan perpustakaan berasal dari segmen pasar yang sama -keduanya akan saling mendukung. Jika sekarang berbagai mall terkemuka sudah menyediakan musala yang baik dan terencana, sepertinya pembuatan perpustakaan sudah dapat digagas dari sekarang.
Mungkin bisa diawali dengan mengubah smoking corner menjadi reading corner, pasti mall akan lebih terlihat smart. Perpustakaan di dalam mall akan menjadi oasis yang menyegarkan pandangan dan pikiran. Salah satu tujuan pengelola mall adalah menciptakan kunjungan ke mall sebagai "customer experience", di samping berkeliling dari toko ke toko.
Pengalaman inilah yang akan membuat pengunjung kembali lagi di hari-hari berikutnya ke mall yang sama. Berbagai kalender acara dapat dirancang oleh perpustakaan sebagai acara edukasional untuk pengunjung mall, dengan begini lebih banyak lagi orang datang dan tidak akan segan membelanjakan sedikit uangnya untuk membeli kudapan atau barang-barang lainnya di toko-toko sekitar perpustakaan. Jadi, siapa yang ingin memulai terobosan peradaban urban paling revolusioner ini?(*)
Tantowi Yahya
Duta Baca Indonesia
(M Budi Santosa)