JAKARTA- Keberadaan ratusan atau bahkan ribuan anggota Republik Maluku Selatan (RMS) di negeri kincir angin ibarat kerikil dalam sepatu bagi hubungan Indonesia-Belanda.
Lantas bagaimana sejatinya awal mula hubungan baik RMS dengan Belanda terjalin? Pengamat intelijen Andi Wijayanto mengungkapkan keberadaan para aktivis RMS di Belanda tak lepas dari sejarah kolonialisme di Indonesia.
“Dulu di tahun 50-an RMS merupakan bagian dari politik pecah belah penjajah. Belanda sengaja menciptakan beberapa negara bagian untuk mendukung eksistensinya di Republik Indonesia Serikat (RIS),” ujarnya.
Saat pemerintahan RIS dinyatakan bubar dan menjadi Republik Indonesia, negara-negara bagian ini sebagian bermetamorfosa menjadi gerakan pemberontakan. “Seperti RMS di masa Orde Lama,” ujarnya.
Setelah gerakan separatis RMS berhasil ditumpas oleh TNI pada 1952, dua tahun setelah RMS diproklamirkan oleh Dr. Christiaan Robert Steven Soumokil pada 25 April 1950, sebagian pengikutnya lari ke Belanda.
Dr Soumokil sendiri berhasil meloloskan diri saat penumpasan gerakan RMS dan meneruskan gerilya sampai akhirnya berhasil ditangkap pada 1962 dan empat tahun kemudian dieksekusi mati. “Banyak orang Maluku Selatan mendapat suaka politik di Belanda,” ujarnya.
Sejatinya tidak ada sumbangsih riil dari Pemerintah Belanda terhadap RMS. Di negeri kincir angin itu RMS tidak menjadi gerakan politik yang didanai anggaran pemerintah. Melainkan sebuah kelompok independen. “Di negeri Belanda yang demokratis keberadaan RMS dianggap sebagai hak berserikat, sama halnya seperti keberadaan gerakan komunis dan pro Nazi di sana,” ungkap Andi.
Akademisi Universitas Indonesia itu memprakirakan pendukung setia RMS di Belanda jumlahnya tinggal sedikit. Mayoritas warga asal Maluku Selatan sudah tidak begitu peduli dengan cita-cita RMS. “Hanya puluhan saja. Paling banyak ratusan,” terangnya.
Klaim bahwa jumlah pendukung RMS mencapai belasan ribu orang sama sekali tidak dapat dibuktikan. Seperti dalam acara peringatan hari ulang tahun RMS di Belanda pada 2009 lalu. Sebanyak 15 ribuan warga Maluku yang datang baik dari Indonesia maupun Belanda lebih memaknai momentum tersebut sebagai media reuni. “Kelompok garis keras yang masih memperjuangkan cita-cita RMS adalah mereka yang memiliki ikatan kekerabatan,” ujarnya.
Momentum gerakan RMS menemukan titik baliknya pasca kerusuhan Maluku 1999. Saat itu muncul kembali gerakan separatisme terutama karena adanya trauma konflik kekerasan antarkelompok. “Lalu muncul pemimpin baru Dr Alex Manukuti, Sekjen RMS, yang lari ke California tahun 2005,” ujarnya.
Kendati demikian RMS tetap tidak berkembang menjadi kekuatan politik signifikan yang didukung kekuatan bersenjata.
RMS kembali menemukan momentum kampanyenya pada 2007 lalu saat berusaha mengibarkan bendera RMS di depan Presiden SBY pada Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-14 di Lapangan Merdeka Ambon, Jumat 29 Juni 2007.
Saat itu Presiden dikagetkan dengan puluhan penari Cakalele yang masuk ke lapangan. Saat Gubernur Maluku Albert Karel Ralahalu memberikan kata sambutan dalam acara tersebut, penari Cakalele masuk ke lapangan dengan berpakaian adat, bertelanjang dada, membawa parang dan tameng.
Di tengah guyuran hujan mereka mulai menari. Sambil mendekati panggung utama tempat Presiden SBY duduk, mereka membentuk formasi kotak dan salah seorang penari yang berada di tengah mencoba untuk membentangkan bendera RMS. Para penari yang diperkirakan berjumlah 19 orang lantas ditahan hingga saat ini.
Kini RMS kembali berulah dengan mengajukan gugatan ke pengadilan negeri Belanda atas tuduhan penganiayaan rekan mereka di tahanan Pemerintah Indonesia. Presiden SBY sempat membatalkan kunjungannya ke Belanda akibat gugatan ini, meski belakangan pengadilan setempat menolak gugatan tersebut.
(Muhammad Saifullah )