BANDUNG - Artis cantik Happy Salma kembali menunjukkan kebolehannya di bidang teater. Kali ini, dia memainkan monolog berjudul "Nyai Ontosoroh" di kampus Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung, Selasa 22 Oktober malam.
Monolog yang disutradai Wawan Sofwan itu merupakan bagian dari teteralogi Pulau Buru karya sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer, yakni Bumi Manusia. Happy memainkan monolog dalam rangka Tribute to Pram Night yang digelar mahasiswa Itenas Clubreads. Tribute tersebut dimulai sekira pukul 20.00 WIB.
Dibalut kebaya putih dan kain batik warna cokelat yang ketat, artis yang juga aktif berteater ini naik ke atas panggung sambil membuka kipas bambunya. Dia membawa surat keputusan pengadilan Amsterdam tentang hak asuh anaknya, Annelies. Annelies merupakan hasil pernikahan Nyai Ontosoroh dengan tuan Belanda.
"Hidup jadi seorang Nyai itu sulit, harus memuaskan tuannya," keluh Nyai Ontosoroh alias Happy, Senin 22 Oktober malam.
Ontosoroh yang diperankan Happy mengisahkan seorang bunga desa asal Sidoarjo di masa penjajahan Belanda. Awalnya, Ontosoroh bernama Sanikem. Sanikem dijual bapaknya kepada tuan Belanda bernama Tuan Hermman yang kemudian memperistrinya.
Si tuan Belanda yang memperistri Ontosoroh ternyata menjadi pengusaha sukses, memiliki tanah yang luas. Ontosoroh dikaruniai dua anak, salah satunya Annelies yang kelak pacaran dengan Minke.
Ontosoroh pun diajari oleh suaminya yang "kulit putih" cara membaca, menulis, berbahasa Eropa, dan berperadaban. Ontosoroh bertanya, apakah dirinya sudah seperti "mijenprouw" alias nyonya Belanda.
Namun, si tuan yang juga diperankan Happy menjawab, untuk apa harus sama dengan Nyonya Belanda. "Karena kau perempuan yang lebih di atas rata-rata," katanya.
Ontosoroh pun bahagia punya suami yang bijaksana. Namun masalah muncul ketika si tuan tewas di rumah bordil dan mewariskan harta yang banyak, termasuk dua anaknya, Robert dan Annelies. Saat itu Ontosoroh mendapat panggilan dari Pengadilan Amsterdam terkait hak asuh anaknya, Annelies.
Pengadilan Belanda itu menginginkan Annelies yang lagi mesra-mesranya dengan Minke supaya diboyong ke Belanda. Alasannya, Annelies adalah keturunan tuan Belanda, dan bukan "Pribumi". Namun Ontosoroh menggugat keputusan pengadilan itu.
Dalam persidangan itu, pengadilan justru mengungkit hubungan Annelies dengan Minke yang Pribumi. Jaksa dan hakim bertanya, di mana Minke nginap saat bertamu ke rumahnya.
"Aku Sanikem gundik dari mendiang Hermman (suami Ontosoroh), seorang gundik yang melahirkan Annelies. Hubungan Minke dan Annelies dipertanyakan karena Minke seorang pribumi," ungkap Ontosoroh.
Lanjutnya, seorang Nyai bukanlah "mijenprouw", tapi hanya pribumi. Dan Annelies seorang Eropa. Akhirnya, persoalan antara pribumi dan Eropa adalah soal kotor dan bersih. Dilahirkan menjadi seorang pribumi waktu itu adalah kesalahan, dan dilahirkan sebagai pribumi lebih salah lagi.
"Aku akan menjadi pribumi yang melawan kulit putih. Karena aku tahu dengan kita melawan kita tidak sepenuhnya kalah," kata Ontosoroh sambil membuka kipas yang terbuat dari bambu.
Selain menyajikan monolog dari Happy Salma, Tribute To Pram Night dalam rangka memperingati Bulan Bahasa itu juga diisi dengan aksi teatrikal dari seniman Besti Rahulasmoro yang menampilkan peformance art berjudul Menulis adalah Sebuah Keberanian.
Dalam kesempatan itu juga dibacakan otobiografi sastrawan Pramudya Ananta Toer yang meninggal 2006 lalu. Selama hayatnya, Pram acapkali menjalani hidup dari penjara ke penjara. Dia dibui ketika masa penjajahan Belanda, lalu dipenjara oleh Rezim Orde Lama dan Orde Baru dengan tuduhan komunis. Uniknya, selama dipenjara, Pram mampu menulis karya-karya besar, salah satu masterpiece-nya adalah Teteralogi Pulau Buru.
(Rifa Nadia Nurfuadah)