DARI tahun ke tahun banjir di Jakarta telah menimbulkan banyak kerugian. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan kerugian akibat bencana banjir, yang melanda wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) 2007 lalu dapat mencapai Rp8 triliun. Greenomics Indonesia memperkirakan kerugian banjir yang melanda hampir sebagian besar wilayah DKI Jakarta baru-baru ini bisa mencapai angka Rp15 triliun.
Berbicara masalah banjir di Jakarta, banyak pihak mengatakan bahwa penyebab utamanya adalah adanya peningkatan curah hujan. Hal tersebut memang ada benarnya. Namun jika dikaji lebih dalam ada faktor-faktor lain seperti kondisi sebagian tanah di Jakarta yang dulunya adalah lahan penyerap air, sekarang menjadi bangunan. Kita dapat juga melihat dari sisi keilmuan hidrologi. Bencana banjir diakibatkan oleh ketidakmampuan sarana penampung air (sungai, kanal, danau, waduk dan lain-lain) untuk menampung air hujan. Mengapa hal ini terjadi? Penyebabnya adalah meningkatnya jumlah surface runoff atau aliran air permukaan akibat berkurangnya daerah resapan air.
Follow Berita Okezone di Google News
Berkurangnya daerah resapan air ini tidak lepas dari pesatnya pendirian bangunan di Jakarta maupun di daerah hulu seperti Bogor. Daerah resapan ini salah satunya dapat berupa ruang terbuka hijau (RTH). Menurut BPLHD Jakarta, RTH di Jakarta baru 9,8%, masih jauh dari amanat UU No.26/2007 tentang penataan ruang dan waktu yaitu sedikitnya 30 persen. Ketika suatu daerah yang awalnya dapat menjadi resapan air, lalu diubah menjadi bangunan, maka air yang seharusnya meresap menjadi air tanah, akan mengalir menjadi air permukaan sehingga dapat memicu terjadinya banjir.
Banyak solusi yang terus bermunculan untuk mengatasi banjir di Jakarta. Pembanguan kanal banjir barat dan timur belum bisa menjawab permasalahan. Baru-baru ini muncul juga wacana pembangunan deep tunnel. Solusi untuk masalah banjir di Jakarta harus dikaji dampaknya baik secara jangka pendek maupun jangka panjang. Misalkan kita mengambil contoh solusi berupa kanal banjir barat, kanal banjir timur serta deep tunnel. Secara jangka pendek, hal di atas dapat menyelesaikan banjir. Fasilitas di atas dapat mengalirkan air hujan ke laut, namun dari sisi keilmuan hidrogeologi, hal di atas bukan solusi jangka panjang bagi Jakarta. Dari segi keilmuan hidrogeologi, ketika air hujan yang seharusnya dapat meresap menjadi air tanah, lalu dialirkan semuanya ke laut, maka bencana krisis air tanah akan semakin mengancam Jakarta.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data bahwa Indonesia akan mengalami krisis air pada 2020 akibat kerusakan lingkungan dan pertambahan penduduk. Bisa kita bayangkan, apa yang akan terjadi jika nikmat Tuhan berupa air hujan ini kita buang begitu saja ke laut. Kolaborasi bencana banjir dan krisis air tanah akan semakin menggoyang Jakarta. Oleh karena itu pembangunan kanal banjir barat, kanal banjir timur serta deep tunnel harus dibarengi dengan pembangunan sarana pelestarian air tanah. Fasilitas yang cukup ampuh adalah peningkatan pembuatan sumur resapan dan biopori. Jokowi juga pernah melempar wacana untuk membangun 10 ribu sumur resapan. Semoga hal itu bukan hanya wacana yang berhenti di mulut semata.
Dengan menggunakan sumur resapan dan biopori, aliran air permukaan yang dapat menimbulkan banjir dapat diserap ke dalam tanah sehingga meminimalkan terjadinya banjir. Penelitian oleh Arifjaya, Fakutas Kehutanan IPB di tahun 2007 membuktikan bahwa penggunaan sumur resapan meningkatkan kemampuan resapan air tanah 42 persen lebih tinggi dibandingkan tanpa menggunakan sumur resapan. Selain itu sumur resapan lebih efektif empat kali lipat dibandingkan vegetatif dan efeknya lebih cepat dan sangat baik untuk pemulihan air tanah. Dalam pembangunan sumur resapan memerlukan biaya yang relatif sama dengan pembuatan septic tank. Oleh karena itu, sudah seharusnya masyarakat membudayakan untuk memiliki sumur resapan di setiap rumah sebagai upaya pencegahan banjir pada musim hujan dan menjaga ketersediaan air tanah pada musim kemarau.
Selain sumur resapan, biopori dapat menjadi alternatif lain untuk mengurangi aliran air permukaan yang dapat menyebabkan banjir. Kehadiran lubang resapan biopori secara langsung akan menambah bidang resapan air, setidaknya sebesar luas kolom/dinding lubang. Sebagai contoh bila lubang dibuat dengan diameter 10 cm dan dalam 100 cm maka luas bidang resapan akan bertambah 3.140 cm2 atau hampir 1/3 m2. Dengan kata lain suatu permukaan tanah berbentuk lingkaran dengan diamater 10 cm, yang semula mempunyai bidang resapan 78,5 cm2 setelah dibuat lubang resapan biopori dengan kedalaman 100 cm, luas bidang resapannya menjadi 3.218 cm2 (www.biopori.com).
Sumur resapan dan biopori hanyalah salah satu upaya dalam menangani masalah banjir dan krisis air tanah di Jakarta. Diperlukan sinergitas antara pemerintah dan masyarakat dengan dibarengi kesadaran bersama untuk memberikan solusi atas permasalahan banjir dan krisis air tanah di Jakarta.
Darmadi
Mahasiswa Teknik Geologi
Institut Teknologi Bandung (ITB)
(rfa)