Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Periskop 2016: Belum Akan Ada Damai di Suriah

Rahman Asmardika , Jurnalis-Rabu, 06 Januari 2016 |20:05 WIB
Periskop 2016: Belum Akan Ada Damai di Suriah
Ilustrasi. (Foto: Reuters)
A
A
A

BERAWAL dari protes menentang Pemerintahan Presiden Bashar Al Assad yang muncul seiring gelombang Arab Spring pada 2011, konflik di Suriah berkembang menjadi sebuah arena perang skala besar yang melibatkan berbagai negara empat tahun kemudian. Selama jangka tersebut, tidak kurang dari 220 ribu orang kehilangan nyawanya, sedangkan ratusan ribu bahkan jutaan lainnya terluka dan terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka.

Konflik ini juga mengakibatkan konsekuensi yang begitu besar pada dunia internasional, tidak hanya kawasan Timur Tengah yang menjadi pusatnya, namun juga Benua Eropa yang harus menerima pengungsi yang melarikan diri dari negaranya akibat perang. Menurut data dari International Organisation for Migration (IOM) yang dilansir BBC (22/12/2015) jumlah pengungsi Suriah yang memasuki Eropa melalui jalur darat dan laut mencapai 1.006.000 orang.

Sejak 2011, konflik di Suriah juga berkembang dengan cepat. Dari sebuah protes anti pemerintah, menjadi perang sipil hingga berkembang menjadi konflik sektarian antara Sunni dan Syiah yang melibatkan banyak pihak yang bertikai. Kebangkitan kelompok militan ISIS di negara itu juga menyeret dunia internasional untuk terjun ke medan pertempuran.

Setidaknya ada empat negara dunia yang memainkan peran sentral dalam konflik di Suriah pada 2015. Amerika Serikat (AS) yang telah terlibat sejak 2011, Rusia yang masuk ke Suriah pada 2015 dengan alasan untuk memberikan bantuan rezim Assad melawan ISIS, Iran yang merupakan sekutu terdekat pemerintah minoritas Syiah pimpinan Presiden Assad dan Arab Saudi yang menyokong pemberontak Sunni Suriah dengan bantuan finansial dan persenjataan.

Mereka terbagi menjadi dua kubu yang saling bertikai, AS, Arab Saudi dan sekutu-sekutunya yang beranggotakan negara-negara Sunni menginginkan rezim Assad untuk lengser dengan berbagai alasan, salah satu yang paling sering disebutkan adalah karena alasan kemanusiaan dan kejahatan perang. Di lain pihak, Rusia dan Iran yang merupakan sekutu dekat Suriah tidak menginginkan hal itu terjadi.

Pihak – pihak yang bertikai mencoba untuk menyelesaikan konflik berdarah tersebut dan mengesampingkan perbedaan mereka dengan mengadakan pembicaraan damai. Meski mendapatkan kemajuan yang cukup positif, seperti kesetujuan AS untuk berkompromi dengan Rusia mengenai nasib rezim Assad, namun pada dasarnya pandangan mereka tidak berubah dan tetap menginginkan putra dari diktator Hafez Assad itu turun dari jabatannya.

Melihat situasi dan banyaknya pihak yang terlibat, tampaknya konflik Suriah belum akan bisa diselesaikan pada 2016, jika tidak ada sesuatu yang luar biasa terjadi. Misalnya, terjadi perkembangan tak terduga dari pembicaraan perdamaian atau kehancuran ISIS di Suriah.

Penyelesaian konflik secara damai dengan negosiasi dilihat memiliki peluang kecil karena untuk mencapai hal itu ada hal yang harus terpenuhi. Pihak yang bertikai harus mengetahui secara pasti bahwa keadaan di medan perang telah buntu, sama kuat dan negosiasi terpaksa dilakukan. Karena jika ada kemungkinan untuk mendapatkan kemenangan, bernegosiasi dan berkompromi dengan lawan adalah hal yang merugikan. Demikian analisa dari pengamat sejarah sejarah Timur Tengah modern dari University of California, Profesor James L. Gelvin yang dilansir dari History News Network, Rabu (6/1/2016).

Situasi seperti ini tidak terjadi di Suriah. Baik kelompok-kelompok oposisi yang didukung Arab Saudi, AS dan sekutu-sekutunya maupun rezim Pemerintah Suriah yang didukung Rusia dan Iran masih meyakini bahwa pihaknya dapat meraih kemenangan total. Kompromi dengan lawan juga berpotensi memberikan kerugian bagi negara sponsor seperti AS, Rusia, Turki, Arab Saudi, Iran dan negara-negara lain yang telah mengeluarkan biaya, waktu, persenjataan, dan tenaga untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan nasional mereka di Suriah.

Kepentingan-kepentingan asing ini juga membuat solusi untuk memecah Suriah menjadi bagian-bagian karena akan melahirkan berbagai masalah yang mengancam kepentingan nasional mereka. Turki misalnya, akan merasa terancam jika wilayah Rojava yang berpenduduk mayoritas Kurdi lepas dari Suriah dan dijadikan basis kelompok pemberontak.

Pemecahan Suriah menjadi bagian-bagian juga berpotensi menyulut konflik baru di Timur Tengah yang mengancam balance of power di kawasan. Hal ini tentu saja akan merugikan negara Barat, terutama AS yang memiliki banyak kepentingan, terutama soal minyak, di wilayah itu.

Masalah lain adalah perpecahan sektarian yang terjadi akibat konflik mempersulit proses perdamaian. Minoritas Syiah akan merasa dirugikan dengan adanya penyelesaian konflik secara damai jika mereka nantinya menjadi pihak yang ditekan oleh kelompok mayortas Sunni di Suriah. Kaum Syiah, dan Kristen minoritas Suriah mengkhawatirkan adanya kekerasan sektarian seperti yang terjadi di Irak atau perbedaan perlakukan seperti yang terjadi di Arab Saudi.

Yang terakhir tentu saja keberadaan kelompok militan ISIS atau yang sering disebut dengan Daesh di Suriah. Kelompok teror yang berbasis di Irak dan Suriah ini menjadi sumber keresahan bagi dunia internasional.

Meskipun serangan dari berbagai negara dan koalisi internasional diklaim telah melemahkan dan membuat mereka terdesak, namun mereka belum lenyap dan ancamannya masih terasa. Selama Daesh masih ada, sulit mengharapkan ada perdamaian di Suriah.

(Rahman Asmardika)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement