TINGGAL jauh dari keluarga dan teman-teman di tanah air tidak serta merta menjadikan acara sahur dan berbuka saat Ramadan menjadi sepi dan tanpa warna. Terkadang, kondisi itu justru menjadi momen yang tepat untuk bertemu dan mengenal Muslim dari berbagai negara.
Itulah yang dirasakan Haifa Fawwaz Atmaya, gadis kelahiran Lampung yang telah dua tahun menempuh pendidikan dan bekerja di Eropa. Haifa mengatakan, meski pertama kali datang ke Eropa dia tinggal sendiri, dia selalu berbuka puasa bersama teman-temannya di sana.
โSaat tinggal di Prancis pada 2016 saya menjalankan puasa untuk pertama kalinya di Eropa. Karena saya tinggal di residen mahasiswa, maka alhamdulillah walaupun kita harus masak sendiri-sendiri, tapi berbuka puasa tetap bersama-sama,โ kata penikmat olahraga air itu.
Hal yang sama juga dirasakan Haifa saat pindah ke Italia dan tinggal bersama keluarga Muslim asal Mesir yang juga menjalankan ibadah puasa Ramadan. Di sana, tidak hanya mendapat teman berbuka, pemegang gelar sarjana teknik lingkungan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu juga tidak perlu lagi memasak makanannya.
Haifa mengatakan, Muslim di Italia sangat ramah terhadap orang Indonesia. Dia mengatakan dirinya diperlakukan layaknya keluarga oleh orang-orang di masjid setempat.
โWaktu saya ikut berbuka puasa bersama di Italia, orang-orang masjid sangat ramah dengan orang Indonesia, saya dirangkul seperti keluarga dan mereka menceritakan bahwa orang Indonesia itu luar biasa,โ ujarnya.
Suasana berbuka puasa bersama di Italia. (Foto: Istimewa)
Selama menjalankan puasa di Eropa, Haifa mengungkapkan adanya perbedaan tradisi dalam acara berbuka puasa bersama di sana dengan yang digelar oleh umat Islam di Indonesia. Yang paling terlihat adalah pada menu dan penyajian makanannya yang lebih condong ke budaya ala Timur Tengah.
โMakanan yang disuguhkan adalah makanan khas arab seperti kuskus, roti batbout, msemmen, teh dari Maroko, kurma dan kue kering manis. Menariknya, untuk makanan utama, 5 sampai 10 orang akan makan bersama dalam satu piring besar seperti tradisi makan di Maroko yang menggunakan satu piring besar untuk satu keluarga,โ jelasnya.
Banyaknya menu berbuka puasa dari Timur Tengah di Eropa bisa dimengerti mengingat kebanyakan umat Islam di sana adalah para imigran dari negara-negara Magribi seperti Maroko, Tunisia, Aljazair serta pendatang dari Mesir yang memiliki kedekatan kultur dengan jazirah Arab. Namun, selain makanan-makanan tersebut, Haifa mengatakan tidak ada kuliner spesial khas Ramadan seperti di Indonesia.
Selain menu tersebut, terkadang ada juga makanan yang dimasak oleh kaum ibu asal Indonesia yang telah menikah dengan orang Eropa dan menetap di sana. Bagi Haifa masakan mereka dapat mengobati kerinduannya akan makanan berbuka khas Indonesia.
Salah satu hal paling berkesan bagi Haifa selaman menjalani puasa Ramadan di Eropa, adalah dukungan yang diberikan warga Prancis dan Italia bagi rekan Muslimnya yang berpuasa. Haifa menceritakan bagaimana teman-temannya yang berbeda keyakinan turut membantu memasak makanan berbuka puasa untuk rekannya yang Muslim.
โSaya merasa beruntung dan terharu bahwa banyak yang peduli dan mendukung ritual umat Islam,โ ujarnya.
Follow Berita Okezone di Google News
(rfa)