DENGAN penuh semangat Faradilla Bachmid mengantarkan buku-buku ke pulau terpencil. Mimpinya hanya satu, ingin semua anak-anak negeri bersemangat belajar demi mengejar mimpi setinggi langit.
Muda dan berani. Dua kata ini rasanya tak cukup untuk menggambarkan betapa gigihnya Fardilla Bachmid, Founder Perkumpulan Literasi Sulawesi Utara. Dia begitu gigih terhadap apa yang diperjuangkannya. Tetapi, setidaknya dua kata itu sangat identik dengan sosok penggiat literasi dari Kota Manado, Sulawesi Utara tersebut.
Dhyla -begitu gadis berusia 28 tahun ini akrab disapa- punya mimpi agar orang-orang yang ada di sekelilingnya, khususnya mereka yang tak beruntung secara ekonomi tetap dalam pendidikan, baik formal maupun non formal.
“Dhyla ingin tak ada lagi orang-orang yang tak mengenal baca tulis. Mereka harus mendapatkan pendidikan baik formal maunpun non formal. Tidak ada kata terlambat, karena pendidikan adalah hak dasar setiap orang,” tuturnya serius.
Komitmennya dalam memperjuangkan literasi bagi masyarakat di sekitar, ia tunjukkan dengan berbagai kegiatan positif, di antaranya merelakan kediamannya menjadi PAUD gratis, menjadi fasilitator Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Sam Ratulangi, selain itu ia juga mendirikan sekolah keseteraan gratis di Kampung Maasing, yakni kawasan Nelayan di pesisir Pantai, Kota Manado. Dhyla bersama beberapa relawan Perkumpulan Literasi Sulut juga terjun untuk mengajar langsung.
Ia mengisahkan, awalnya hanya menggantungkan dana operasional dari kedua orangtuanya. Namun seiring berjalannya waktu, sepak terjang Sarjana Psikologi sebuah universitas ternama di Yogyakarta ini mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. “Kalau ada yang tanya, Dhyla dari mana semua biayanya, aku jawab santai saja, dari Allah,” tuturnya ringan.
Selain mengajar di sekitar tempat tinggalnya, Dhyla juga mengumpulkan buku-buku bacaan gratis yang ia bagikan kepada masyarakat kurang mampu baik yang ada di sekitar tempat tinggalnya maupun di lokasi terpencil seperti di Pulau Gangga, Minahasa Utara. Di pulau ini, Dhyla menjadi fasilitator Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Kampung Literasi Tut Wuri Handayani yang didirikan kedua orangtuanya. Untuk bisa tiba di Pulau Gangga, Dhyla harus menempuh perjalanan dengan menumpang boat dan melanjutkannya dengan perahu kecil atau ketinting selama 45 menit sampai 1 jam.
Â
Duta Baca Sulawesi Utara membagkan buku-buku dan mengajak masyarakat khususnya anak-anak untuk gemar membaca dan mencintai buku. “Sebenarnya minat-anak di pulau terpencil itu sangat tinggi, sayangnya buku-buku yang sesuai dengan usia dan kebutuhan mereka masih kurang. Itu sebabnya, Dhyla dan kawan kawan berusaha untuk memfasilitasi itu,” jelasnya.
Dhyla sendiri menolak disebut pejuang literasi. Menurutnya, apa yang ia lakukan selama ini hanyalah sumbangsih kecil untuk tanah kelahirannya. Baginya ini semua belum apa-apa. Namun, satu hal yang selalu ia pegang bahwa dalam menjalani hidup ia sangat meneladani filosofi Pahlawan Nasional dari Sulawesi Utara, Sam Ratulangi yakni Sitou timou tumou tou" yang artinya: manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia lainnya.
Sikap gadis asli Sulawesi Utara ini banyak menuai pujian dan simpatik, salah satunya dari aktris senior Cut Mini. “Merupakan pengalaman berharga bisa melihat kegigihan Pejuang Literasi seperti Faradilla Bachmid,” tutur bintang film Arisan itu di sela-sela shooting TVC #Kejar Mimpi CIMB Niaga.
Bagi Dhyla, sukses itu tidak sendiri, sukses itu bersama, sukses itu berkolaborasi, sukses itu tidak hanya mementingkan eksistensi. "Tetapi sukses itu bagaimana bisa mengajak semua teman-teman untuk sukses, teman-teman untuk berkarya, kita topang mereka dan kita bangkit bersama," tegasnya.
Hal itu ia sampaikan saat menjadi pembicara di ajang Leaders Camp bertajuk “Lampaui Batas Dirimu dan Berani #KejarMimpi" di Universitas Sam Ratulangi, Manado yang diadakan CIMB Niaga beberapa waktu lalu.
"Sukses tidak sendiri, sukses itu bersama, sukses sendiri itu bukan sukses, kalau kamu sukses, kamu bahagia dengan karirmu dan itu hanya buat dirimu, bagi saya pribadi itu bukan sukses," ujar Dhyla.
Sejak masih duduk di bangku kelas 3 SMA, ia sudah membuka pendidikan gratis bagi anak-anak putus sekolah yang berlokasi di pasar Paal II. Tidak hanya sekedar belajar, anak-anak putus sekolah itu dikawal sampai mereka bisa sekolah.
Awal anak kedua dari tiga bersaudara ini terjun untuk memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak putus sekolah ketika melihat aktivitas anak-anak di Pasar Paal II, yang tidak sekolah.
"De, kenapa tidak sekolah, mereka menjawab buat apa sekolah, tujuan sekolahkan cuma satu, cari uang, buat apa kita sekolah tinggi-tinggi kalau kita kerja sudah bisa dapat uang, kok," kata Dhila menerangkan jawaban anak-anak tersebut.
Mendengar jawaban itu, Dhyla merasa miris dan merasa itu sebuah pukulan baginya. Ternyata di wilayah urban perkotaan, masih sangat banyak anak-anak yang butuh sekolah, tidak sekolah, bahkan makan saja harus cari sendiri dengan membantu orangtua bekerja. Mulai saat itu, gadis yang bermimpi menjadi astronot itu memutuskan untuk membantu mereka.
"Mimpi saya ingin jadi astronot, ingin menginjakkan kaki di bulan, ternyata hari ini saya menginjak bulan itu, dan tidak sendiri, saya bisa menginjak bulan itu bersama teman-teman saya. Menginjak kaki di bulan saat ini bagi saya, bisa melihat anak-anak putus sekolah mengeyam pendidikan dengan layak," pungkas Dhyla.
Dhyla yang biasanya tegar, saat menyampaikan kata-kata itu terdengar bergetar penuh haru, sementara itu di deretan bangku penonton, beberapa mahasiswa yang Dhyla maksud tak sanggup membendung air mata yang tak kalah haru. Benar kata gadis manis ini, sukses itu adalah ketika kita bisa menghantar mimpi untuk orang lain. Salut!
(ris)