SOLO – Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 2020 akan merayakan hari kemerdekaan ke-75 tahun. Namun, kemerdekaan yang sesungguhnya belum sepenuhnya dirasakan. Bangsa ini belum merdeka dari yang namanya kemiskinan.
Diantaranya dialami Ngatimin Citrowiyono, kakek pejuang kemerdekaan di masa penjajahan, bertugas menjadi mata-mata untuk mengawasi pergerakan Belanda.
Kini sosok tersebut harus tetap berjuang jualan mainan untuk menyambung hidupnya. Usiaya sudah tidak lagi muda, 87 tahun. Diusia itu, kakek yang akrab disapa Mbah Semprong ini, hingga kini belum menikmati betul arti kemerdekaan. Ya mantan pejuang ini kini harus bergelut dengan mainan anak anak yang dibuatnya untuk menyambung hidup.
Meski sudah tidak lagi muda, badannya tidak lagi tegap dan gigi banyak yang tanggal, semangat Mbah Semprong tetap membara.
Sudah 75 tahun Indonesia Merdeka, pak Min (sapaan lain mbah Semprong) masih tetap berjuang, dia tidak lagi mengangkat senjata, namun berjuang di pinggiran jalan dengan perjuangan yang berbeda.
Mbah Semprong tidak mempedulikan panasnya terik matahari, terkadang harus berbasah kuyup lantaran hujan yang mengguyur, namun semangatnya tak pernah luntur.
Dimata rekanya sesama pedagang kaki lima, kakek kelahiran Colomadu, Karanganyar tahun 1933 ini merupakan sosok yang inspiratif dan semangatnya tidak kalah dengan anak muda.
Purwanto, salah satu rekan pedagang kaki lima mengatakan, mbah Semprong sering bercerita di masa penjajah Belanda, dimana dia ikut berjuang bersama ayahnya yang gugur tertembak pasukan Belanda.
“Saya biasa panggil pak Min, dia sosok yang gigih, benar-benar pejuang kemerdekaan, dia sering bercerita ketika melawan Belanda dalam agresi militer Belanda II di Donohudan, Boyolali,” kata Purwanto.
“Setahu saya tugasnya berat, sebagai mata-mata mengawasi pergerakan Belanda. Waktu itu usianya masih muda sekali sekitar 17-an. Nah, karena dianggap masih kecil justru penyamaran ini berhasil dan tidak dicurigai oleh musuh,” tuturnya.
Tugas Berat Pengintai Musuh
Dengan terbata-bata, Mbah Semprong menceritakan kisah perjuangannya bisa menjadi mata-mata Indonesia di masa penjajahan Belanda. Saat Ditemui dirumahnya di kawasan Jebres, Solo, ia mengisahkan pengalamannya menjadi mata-mata yang penuh risiko, karena bila ketahuan sudah pasti akan ditembak mati.
Selain dirinya, dia mengaku punya teman yang juga mata-mata. AKan tetapi, justru sebagai spionase musuh. Tidak sedikit dari orang Indonesia yang menjadi antek-antek Belanda. Mudah mencirikannya, yakni setiap antek Belanda selalu membawa cermin yang digenggamannya.
“Fungsinya saya memberi kode ke pasukan Belanda dengan cara mematulkan sinar dan pesawatpun melakukan pemboman di wilayah tersebut,” ujarnya.
Sedangkan mbah Semprong sendiri bertugas sebagai mata-mata untuk Indonesia. Bahkan pernah dia ditawarkan menjadi mata-mata Belanda dengan bayaran tinggi, dengan tegas dan keras dia menolaknya. “Lebih baik mati terhormat daripada hidup jadi pengkhianat,” tuturnya semangat.
Setelah perang kemerdekaan, hidupnya tidak seberuntung pejuang lainnya. Dia menjadi salah satu pejuang yang merasakan dampak ekonomi ketika peristiwa G 30S PKI.
“Setelah kemerdekaan, saat itu ada pekerjaan bagus di Jakarta. Tapi karena pecah pemberontakan PKI, semua proyek berhenti dan saya menganggur. Saat itu saya putuskan kembali ke Solo,”
Di Solo pun Mbak Semprong masih beruntung sebenarnya, dia masih bisa bekerja di Dinas Pekerjaan Umum (DPU), namun karena gaji pegawai negeri sipil (PNS) saat itu kecil, akhirnya ia banting setir ke dunia usaha.
Dimulai pada tahun 1970an, pak Min sebutan lain Mbah Semprong mulai menekuni usaha berjualan lampu semprong, dan karena usahanya ini pak Min dijuluki Mbah Semprong hingga sekarang.
Usaha lampu semprong berjalan 10 tahun, namun seiring perkembangan zaman, lampu semprong mulai meredup tergantikan dengan lampu PLN. Pak Min memutuskan untuk narik Becak dan berjualan mainan hasil buatan sendiri hingga kini.
(Amril Amarullah (Okezone))