JAKARTA – Kualitas garam lokal masih dianggap belum bisa memenuhi kebutuhan dunia industri yang mensyaratkan garam dengan kualitas tinggi.
Berangkat dari permasalahan tersebut, mahasiswa Departemen Teknik Infrastruktur Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menuangkan sebuah gagasan Smart House Salt Maker dengan tenaga surya yang bernama SHASA.
Dalam gagasannya yang bertajuk SHASA: Smart House Salt Maker Tenaga Solar Cell untuk Mendorong Swasembada Garam Nasional Berkelanjutan di Wilayah Kabupaten Banyuwangi tersebut, Muhammad Arif Billah ingin membangtu meningkatkan produksi petani garam me jadi lebih baik lagi.
Baca Juga: Buat Masker Kain Mirip Masker Medis, 5 Mahasiswa Unpad Sabet Medali Emas
Mahasiswa yang akrab disapa Arif tersebut menuturkan, pandemi Covid-19 yang mewabah telah memberikan banyak pengaruh di berbagai bidang, termasuk sektor industri garam. Apalagi dengan adanya cuaca yang makin tak menentu saat ini. Tak hanya menimbulkan lesunya harga garam, kondisi ini juga membuat para petani, khususnya di daerah Banyuwangi, kesulitan dalam proses produksi. Hal tersebut ditengarai menjadi penyebab pemerintah meningkatkan volume impor garam.
Tak mau hal tersebut terus terjadi, Arif tertarik untuk membuat sebuah sistem tambak yang dapat memproduksi garam secara otomatis tanpa terpengaruh oleh cuaca. Sistem tersebut yang akhirnya ia namai dengan sebutan SHASA. “Yakni merupakan rumah garam yang berbentuk setengah lingkaran dan di bawahnya terdapat kolam garam dan lampu pemanas,” papar pemuda kelahiran Banyuwangi, 14 Juli 2002 tersebut.
Baca Juga: 3 Kampus Terbaik Versi 4ICU Unirank, UGM Jawaranya
Lampu tersebut, sambungnya, dikontrol menggunakan arduino dan sensor yang berfungsi untuk memanaskan air laut yang masuk ke dalam rumah garam. Selain itu, SHASA dilengkapi dengan empat sensor lain, di antaranya adalah sensor cahaya, sensor hujan, sensor salinitas, serta sensor suhu dan kelembaban. “Sensor-sensor tersebut memiliki peran penting dalam mendeteksi keadaan cuaca sekitar,” ungkap mahasiswa yang aktif tergabung dalam Tim Penalaran ITS tersebut.
Arif mencontohkan, jika cuaca mulai mendung dan terjadi hujan, sistem pemanas dari SHASA akan bekerja sehingga air tua atau air jenuh dari laut tetap dapat terproses. Meskipun sistem ini dinilai tidak ekonomis bagi para petani garam, namun sebenarnya pengeluarannya terhitung lebih murah jika dibandingkan dengan jumlah produksi garam yang dihasilkan.
“Untuk kolam berukuran 7×8 meter diprediksi mampu menghasilkan garam sebanyak 500 kilogram, dan jika harga garam berada di kisaran Rp 500 per kilogram maka untung yang dihasilkan bisa lebih banyak,” terangnya, seperti dikutip dari laman ITS, Sabtu (27/2/2021).