PRESIDEN Soekarno atau Bung Karno seorang pecinta kehidupan dan keindahan yang itu karenanya ia tidak mudah menyetujui pelaksanaan hukuman mati. Bung Karno pernah menyatakan sangat tidak menyukai dan bukan kebiasaanya memberikan tanda tangan untuk hukuman mati, kecuali kepada Kartosoewirjo.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo merupakan Imam besar pemberontak DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Ia juga ditahbiskan para pengikutnya sebagai Presiden Negara Islam Indonesia (NII). Kartosoewirjo ditangkap dan lantas dieksekusi mati pada 5 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.
BACA JUGA:Bucinnya Bung Karno kepada Penari Haryati: Ini Surat Cintanya
Sebelum ditangkap dan dihukum mati, Kartosoewirjo bersama para pengikutnya telah berulangkali berusaha melancarkan pembunuhan terhadap Bung Karno. Semangat orang-orang DI/TII dan sekutunya untuk menghabisi Bung Karno digerakkan oleh fatwa radikal Kartosoewirjo pada tahun 1950.
“Bunuh Soekarno! Dialah penghalang pembentukan Negara Islam. Soekarno mengatakan bahwa Indonesia harus berdasarkan Pancasila, bukan Islam. Sebagai jawaban atas tantangan ini, kita harus membunuh Soekarno.”
H Maulwi Saelan dalam buku “Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66” menuliskan, bahwa dengan fatwa yang dikeluarkan, Bung Karno menyebut Kartosoewirjo telah meludahkan api. “Para pengikutnya sangat bersemangat melaksanakan fatwa ini,” tulisnya.
BACA JUGA:Deretan Tempat Pengasingan Bung Karno, Tak Hanya di Ende
Yang nyaris berhasil adalah upaya pembunuhan pada acara Malam Dana di Perguruan Cikini Jakarta, pada 30 November 1957. Tepat pukul 20.55 Wib, saat Bung Karno meninggalkan lokasi dengan menuruni tangga gedung untuk menuju mobil Chrysler, malapetaka terjadi. Bung Karno dihujani granat.
Di tengah suasana hening seiring teriakan aba-aba komandan pasukan pengawal untuk memberi hormat kepala negara yang hendak masuk mobil, sebuah granat tiba-tiba meledak. Granat dilempar dari atas gedung. Dari sisi kiri gedung menyusul lemparan granat kedua yang juga langsung meledak.
Di tengah suasana heboh itu, granat ketiga kembali meledak yang dilempar dari sisi kanan gedung. “Seorang pengawal merobohkan Bung Karno dengan cepat dan keras ke tanah agar tidak terkena pecahan granat jika diserang lagi,” tulis Maulwi Saelan.
Dan yang diperkirakan benar. Serangan kepada Bung Karno melalui lemparan granat kembali terjadi. Lemparan granat dari jarak sekitar lima meter itu menghancurkan mobil Bung Karno. Mesin, kaca depan dan dua ban mobil, hancur. Mobil Chrysler itu merupakan hadiah dari Raja Saudi untuk Bung Karno, yang diberikan saat menunaikan ibadah haji.
Puluhan anak-anak terkena pecahan granat dan Bung Karno yang berada di tengah anak-anak tersebut, anehnya tidak terluka. Ledakan granat yang kelima merobek paha seorang perwira pengawal yang berusaha melindungi Bung Karno dengan tubuhnya. Dalam insiden itu sejumlah orang meninggal dunia dan 48 anak-anak dilarikan ke rumah sakit.
Dalam waktu 24 jam, sebanyak 14 orang komplotan pelempar granat berhasil diringkus. “Itulah pekerjaan orang-orang fanatik agama pengikut Kartosoewirjo,” kata Bung Karno. Upaya membunuh Bung Karno tidak berhenti di situ. Pada 9 Maret 1960, sebuah pesawat terbang MIG 15 yang sedang terbang rendah berniat meluncurkan roket dengan sasaran Istana Negara di mana Bung Karno sedang berada di dalamnya.
Bung Karno selamat. Entah apa yang terjadi. Pesawat itu tiba-tiba kehabisan bahan bakar dan terpaksa mendarat darurat di persawahan wilayah Garut. Letnan Penerbang Maukar, sang pilot pesawat, langsung ditangkap, dijebloskan penjara dan divonis mati.
Upaya membunuh Bung Karno kembali terulang pada tahun 1962. Peristiwa terjadi saat Bung Karno tengah menunaikan salat Idul Adha di lapangan rumput antara Istana Merdeka dan Istana Negara. Dari jarak 4 shaf di belakang, tiba-tiba menyalak tembakan pistol berulangkali yang tertuju pada Bung Karno.
Peluru tak berhasil mengenai Bung Karno, tapi menyerempet bahu Ketua DPR Zainul Arifin dari NU yang saat itu bertindak sebagai imam salat Ied. Sang penembak berhasil diringkus dan dijatuhi hukuman mati. Namun dalam pelaksanaan hukuman mati itu, Bung Karno enggan membubuhkan tanda tangannya.
“Bung Karno tidak sampai hati untuk merentangkan jalan menuju kematiannya, karena ia berpikir bahwa pembunuh yang sesungguhnya adalah orang-orang terpelajar ultrafanatik yang merencanakan perbuatan itu,” Maulwi Saelan.
Begitu juga dengan nasib Letnan Penerbang Maukar, pilot pesawat MIG 15. Presiden Soekarno mengumumkan amnesti umum terhadap PRRI/PERMESTA yang pernah memberontak.
Maukar yang termasuk unsur PRRI/PERMESTA, tak jadi dihukum mati dan langsung dibebaskan. Namun kebijakan itu tidak berlaku bagi Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Peristiwa pada acara Malam Dana di Perguruan Cikini Jakarta 30 November 1957, telah menggores rasa kemanusiaan Bung Karno. Dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan bagaimana anak-anak dan perempuan yang tidak berdosa, ikut menjadi korban.
“Kutundukkan kepala mengenang korban-korban yang tidak berdosa dikuburkan ke dalam tanah. Aku mengingat sembilan orang anak dan seorang perempuan hamil yang kulihat sendiri jatuh tersungkur tidak bernyawa di dekatku. Karena seorang fanatik hendak membunuhku, mereka harus memberikan nyawanya. Dan karena itu pula aku membubuhkan tanda tangan menghukum Kartosoewirjo,” kata Bung Karno yang tercatat dalam otobiografinya.
Kartosoewirjo menjalani persidangan 14-16 Agustus 1962. Ia didakwa memimpin dan mengatur penyerangan, hendak merobohkan pemerintahan RI yang sah, dan membunuh presiden. Setelah diberi kesempatan bertemu dengan keluarganya, termasuk berfoto bersama, Kartosoewirjo akhirnya menjalani eksekusi hukuman mati dengan cara ditembak.
Kendati demikian, dalam catatannya, Bung Karno tetap mengenang Kartosoewirjo sebagai sosok yang pernah menjadi kawan baik. Seorang kawan yang di tahun 1918 pernah saling bahu-membahu bersama HOS Tjokroaminoto, demi kejayaan tanah air.
Pada tahun 1920-an di Bandung, Bung Karno juga menyatakan pernah tinggal dan makan bersama Kartosoewirjo. “Bahkan mimpi bersama-sama. Akan tetapi ketika aku bergerak dengan landasan kebangsaan, ia berjuang semata-mata menurut azas agama Islam,” kata Bung Karno seperti tertulis dalam buku “Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66”.
(Awaludin)