Share

Kisah 20 Ribu Yahudi Diselamatkan China saat Perang Dunia II

Agregasi BBC Indonesia, · Sabtu 19 November 2022 06:03 WIB
https: img.okezone.com content 2022 11 18 18 2710204 kisah-20-ribu-yahudi-diselamatkan-china-saat-perang-dunia-ii-2lwJAIJo9t.jpg Bangunan di China bekas permukiman kumuh Yahudi (Foto: Getty Images/BBC Indonesia)

DI PUSAT kota Shanghai, dekat area gedung pencakar langit yang berkilauan, ditemukan sebuah bangunan usang yang dihiasi oleh Bintang Daud. Lambang agama Yahudi ini cukup kecil sehingga tidak banyak orang lewat yang melihatnya.

Namun, ia menjadi saksi salah satu cerita paling luar biasa dalam sejarah Shanghai, yang terjadi di sini, di subdistrik Tilanqiao. Bagi ribuan orang yang putus asa di tahun 1930-an, kota metropolis di China ini adalah pilihan terakhir.

Sebagian besar negara dan kota di dunia menolak orang Yahudi yang berusaha melarikan diri dari persekusi kejam oleh Nazi Jerman.

Tidak demikian dengan Shanghai. Oasis multikultural ini - rumah bagi penduduk asal Inggris, Prancis, Amerika, Rusia, dan Irak - adalah satu dari sedikit tempat yang menerima pengungsi Yahudi, tanpa perlu visa. 

Meskipun Shanghai terletak lebih dari 7.000 km dari tempat asal mereka di Jerman, Polandia, dan Austria, lebih dari 20.000 orang Yahudi tanpa kewarganegaraan melarikan diri ke kota terbesar di China itu untuk menghindari Holokaus antara tahun 1933 dan 1941.

Shanghai bukan hanya tempat berlindung yang aman. Ia juga merupakan kota modern dengan komunitas Yahudi Rusia yang mapan dan satu dekade sebelumnya membangun Sinagoga Ohel Moshe, bangunan yang memajang simbol Bintang Daud itu.

Awalnya, para penghuni baru Shanghai hidup dengan damai. Pengungsi Yahudi disambut dengan baik oleh penduduk Shanghai dan mereka menciptakan komunitas yang kuat, membangun sekolah serta lingkungan sosial yang dinamis.

Beberapa pengungsi mulai bekerja sebagai dokter dan dokter gigi, sementara yang lain mendirikan toko, kafe, dan klub di lingkungan sekitar.

Follow Berita Okezone di Google News

Satu hal yang tidak disangka-sangka oleh para pengungsi ialah mereka telah melakukan perjalanan melintasi dunia hanya untuk jatuh ke dalam cengkeraman sekutu Nazi yang paling kuat.

Pada tahun 1941, Jepang merebut Shanghai. Bertindak atas instruksi Nazi, pasukan Jepang mengumpulkan semua orang Yahudi di kota dan mengurung mereka di Tilanqiao. Permukiman kumuh Yahudi di Shanghai pun lahir.

Sejarah kelam ini berputar-putar di benak saya saat berhenti di depan sebuah prasasti batu di Taman Huoshan Tilanqiao, sebuah ruang hijau kecil dan tenang dengan jalan setapak yang melewati pepohonan rimbun.

Sekelompok lelaki tua Tionghoa yang sedang duduk-duduk di bangku taman menatap saya dengan ekspresi bingung saat saya memotret plakat itu.

Meskipun sejarah Yahudi di Tilanqiao memang menarik bagi sedikit turis internasional, daerah ini tetap jauh dari jalur wisata utama kota Shanghai.

Seperti yang dijelaskan dalam plakat (dalam bahasa Inggris, Mandarin dan Ibrani), area di sekitar Taman Huoshan dulunya permukiman kumuh Yahudi.

Di utara berbatasan dengan Jalan Zhoujiazui, di selatan dengan Jalan Huimin, di timur dengan Jalan Tongbei, dan di barat dengan Jalan Gongping, permukiman itu kira-kira berukuran 2,6 km persegi.

Lebih dari 15.000 orang Yahudi tinggal di dalam perbatasan itu pada awal 1940-an, dan Taman Huoshan berfungsi sebagai semacam ruang tamu umum tempat banyak orang Yahudi berkumpul pada siang hari.

Tidak seperti beberapa ghetto Yahudi di Eropa pada saat itu, Tilanqiao tidak dipagari. Tapi itu adalah tempat yang serba kurang dan tertekan, menurut Dvir Bar-Gal, seorang jurnalis Israel dan ahli sejarah Yahudi Shanghai, yang telah memimpin tur ke Tilanqiao sejak 2002. 

"Bayangkan Anda seorang dokter, pengacara, atau musisi di Wina dan tiba-tiba Anda menganggur di [permukiman kumuh] Shanghai," kata Bar-Gal. "Jadi, itu bukan tempat yang membahagiakan,"

"Tapi mereka mencoba mempertahankan gaya hidup Yahudi dengan tradisi seperti teater dan musik. Penghasilan mereka tak seberapa tetapi [Tilanqiao] marak dengan kehidupan Yahudi di tahun 1930-an."

Menurut Bar-Gal, bahkan sebelum invasi Jepang, banyak pengungsi Yahudi di Tilanqiao hidup dalam kemiskinan dibandingkan dengan kehidupan mereka yang nyaman di Eropa.

Kondisi semakin memburuk setelah tentara Jepang mengumpulkan orang-orang Yahudi dari seluruh Shanghai dan memaksa mereka semua untuk tinggal di dalam permukiman dadakan ini.

Orang Yahudi dilarang meninggalkan daerah itu, bahkan untuk bekerja, kecuali mereka mendapat izin dari petugas Jepang, yang jarang terjadi.

Penyakit dan kekurangan gizi melanda banyak rumah yang penuh sesak, dihuni beberapa keluarga. "Ia berubah dari lingkungan yang miskin menjadi lingkungan yang sangat miskin," kata Bar-Gal.

"Banyak orang tidak punya pekerjaan dan tinggal di perumahan komunal dengan banyak tempat tidur lain, kamar mandi umum, dan dapur. Mereka tidak punya privasi dan hampir tidak ada makanan."

Namun, sementara enam juta Yahudi dibunuh selama Holokaus, dan hingga 14 juta tentara dan warga sipil China terbunuh dalam perang negara mereka dengan Jepang dari tahun 1937 hingga 1945, mayoritas pengungsi Yahudi di Shanghai selamat.

Prestasi luar biasa ini disebut sejarawan Holokaus David Kranzler sebagai "Keajaiban Shanghai", dan menurut Bar-Gal, mereka selamat karena Yahudi bukan target utama tentara Jepang.

Pada tahun 1945, ketika Perang Dunia Kedua berakhir dengan kekalahan Jepang dan Nazi Jerman, tentara Jepang mundur dan sebagian besar orang Yahudi Shanghai segera pergi, pindah ke tempat-tempat seperti AS, Australia, dan Kanada.

Tetapi jika Shanghai tidak menerima para pengungsi ini, banyak mereka mungkin tidak akan selamat dari pasukan pembunuh Nazi.

Hari-hari ini, Tilanqiao adalah daerah mayoritas Tionghoa dengan nyaris tidak ada penduduk asing. Kurang dari 2.000 orang Yahudi saat ini tinggal di Shanghai, turun dari sekitar 4.000 sebelum pandemi virus corona, kata Bar-Gal.

Tak satu pun dari mereka, sejauh yang dia tahu, adalah kerabat orang Yahudi yang pernah tinggal di permukiman kumuh ini.

Tetapi banyak keturunan dari mereka yang mengungsi di sini, dan mungkin tidak akan lahir tanpa Tianqiao, telah berkunjung ke sana.

Sebelum pandemi, Bar-Gal biasa menunjukkan kepada para wisatawan Yahudi tempat nenek moyang mereka tinggal di antara banyak bangunan bobrok di Tilanqiao.

Dia merindukan pengalaman ini, setelah menghentikan sementara turnya dan meninggalkan Shanghai tahun lalu karena pandemi.

Namun, tanpa kehadirannya, cerita tentang permukiman Yahudi di Tilanqiao tidak memudar, berkat Museum Pengungsi Yahudi Shanghai, yang bertempat di halaman Sinagoga Ohel Moshe. Tempat peribadatan Yahudi ini berfungsi sebagai pusat komunitas Tilanqiao selama Perang Dunia Kedua.

Kemudian, pada 2007, ia diubah menjadi museum, yang dibuka kembali Desember lalu setelah perluasan besar-besaran dan didedikasikan untuk melestarikan kisah yang tidak banyak diketahui orang tentang bagaimana Shanghai menjadi "Bahtera Nuh modern" bagi orang Yahudi, seperti dikatakan di laman resminya.

Aula doa sinagoga berfungsi sebagai pintu masuk museum, dan belum diubah karena digunakan secara teratur.

Pameran menunjukkan bagaimana komunitas Yahudi Tilanqiao terbentuk, serta cerita personal yang intim tentang pengungsi Yahudi, menurut Sophia Tian, ​​direktur Departemen Pameran dan Penelitian museum.

Saya sangat terkesan dengan cerita Dr Jacob Rosenfeld. Pengungsi Yahudi ini datang ke Shanghai dari Austria pada tahun 1939 dan kemudian bergabung dengan tentara China dalam perang melawan Jepang, bekerja sebagai dokter lapangan dan menyelamatkan nyawa banyak tentara China yang terluka.

Setelah dianugerahi beberapa medali oleh militer China, Rosenfeld pindah kembali ke Austria pada tahun 1949 untuk berkumpul kembali dengan keluarganya.

Pameran lain menampilkan kenangan Jerry Moses, yang baru berusia enam tahun ketika dia dan keluarganya melarikan diri ke Shanghai dari Jerman pada tahun 1941.

"Jika [orang Shanghai] tidak begitu toleran, hidup kami akan sengsara," kata Moses.

"Di Eropa, jika seorang Yahudi melarikan diri, dia harus bersembunyi, dan di sini di Shanghai kami bisa menari dan berdoa serta berbisnis."

Museum juga mendorong para pengunjung melakukan tur jalan kaki sendiri di permukiman kumuh Yahudi itu, dengan menyediakan buklet yang memetakan dan menjelaskan secara detail situs-situs Yahudi bersejarah di Tilanqiao, dengan penanda dalam bahasa Inggris.

Keluyuran di jalan-jalannya membuat saya membayangkan wajah Tilanqiao 80 tahun yang lalu ketika pasukan Jepang menyerbu Shanghai.

Bangunan pertama yang saya temui ialah bangunan tua dan besar bekas Penjara Tilanqiao. Selama Perang Dunia Dua, Jepang memenjarakan puluhan pengungsi Yahudi dan disiden China di balik tembok batunya yang tebal.

Kebrutalan Jepang memberi komunitas Yahudi dan China musuh dan pengalaman bersama. Hubungan ini masih kuat, menurut Tian.

"Komunitas Yahudi membangun hubungan, kooperasi, dan rasa kasih sayang tertentu dengan penduduk lokal di Shanghai," dia menjelaskan.

"Mereka membawa budaya Eropa ke Shanghai dan hidup dengan harmonis serta berintegrasi dengan kebudayaan penduduk lokal."

Berikutnya, di Jalan Changyang, saya melewati salah satu bangunan bekas penampungan pengungsi Yahudi.

Sekarang sebagian besar berfungsi sebagai apartemen, bangunan tujuh lantai ini menjadi tempat tinggal lebih dari 3.000 orang Yahudi pada awal 1940-an.

Di dekatnya, area sepanjang jalan Huoshan dan Zhoushan pernah dikenal sebagai Wina Kecil, dan merupakan bagian paling sejahtera dari perkampungan Yahudi di Tilanqiao.

Pada akhir 1930-an, jalanan itu merupakan tulang punggung komunitas Yahudi di Shanghai, dan marak dengan bisnis Yahudi dan acara sosial rutin di Mascot Roof Garden di atas bekas Teater Broadway.

Bangunan bergaya art deco yang anggun itu, yang sekarang beroperasi sebagai hotel kecil, pernah menjadi sumber kegembiraan bagi para Yahudi di Shanghai sebelum Perang Dunia Dua.

Persahabatan seperti itu adalah kunci untuk mempertahankan semangat komunitas Yahudi Shanghai, banyak dari mereka masih memiliki keluarga yang hidup dalam bahaya di Eropa.

Pada saat wirausahawan dari seluruh dunia yang ingin menjadi kaya mengubah Shanghai dari desa nelayan yang sederhana menjadi kota terbesar kelima di dunia, Tilanqiao tidak menawarkan kekayaan atau kemewahan kepada para pengungsi Yahudi, tetapi sesuatu yang jauh lebih berharga: keamanan.

Namun sekarang, delapan dekade kemudian, dunia masih mendengar kisah menarik tentang perjuangan bertahan hidup yang terjadi di sini.

Dan jika Anda ingin menemukan lambang Bintang Daud yang menyendiri, carilah sebuah plakat batu kecil dan masuklah ke dalam sinagoga tua yang masih berdiri, Anda akan belajar tentang kisah inspiratif ketika China membantu orang-orang Yahudi yang ketakutan serta tidak memiliki hak dan harapan di kampung halaman mereka.

1
7
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.

Berita Terkait

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini