BEIJING – Partai Komunis China, bertekad akan menindak tegas aksi unjuk rasa menentang kebijakan pembatasan ketat Covid-19, bahkan ketika polisi telah bentrok dengan para pengunjuk rasa di Kota Guangzhou di China selatan dalam rangkaian konfrontasi terbaru di seantero negara itu.
Melansir VoA Indonesia, Jumat (2/12/2022), Pemerintah China akan menindak tegas kegiatan infiltrasi dan sabotase oleh perusuh.
(Baca juga: Protes Covid-19 China Memanas, Demonstran Tuntut Presiden Xi Jinping Mundur)
”Pernyataan dari Komisi Sentral Urusan Politik dan Hukum itu tidak secara langsung menyebut aksi unjuk rasa yang terjadi di sedikitnya 15 kota, termasuk Ibu Kota, Beijing, dan kota pusat keuangan, Shanghai. Namun, hal itu memperjelas niat pemerintah untuk menegakkan aturannya.
Di sisi lain, Presiden China, Xi Jinping saat ini sedang gencar-gencarnya membangun kembali diplomasi negaranya di tengah isolasi internasional paska merebaknya Virus Corona yang diduga berasal dari negeri mereka.
Seperti pada 14 November lalu, saat Xi Jinping mengadakan pembicaraan tatap muka pertamanya dengan Presiden AS Joe Biden di sela-sela perhelatan akbar G20 di Bali, Indonesia.
Xi Jinping juga mengadakan pembicaraan tatap muka pertamanya dengan Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida di Bangkok, pada 17 November 2022.
Akan tetapi, tidak sedikit dari para pengamat melihat lebih dalam maksud Xi Jinping sebagai uoaya diplomasi dalam negerinya yang saat ini tengah panas, paska ia di daulat memimpin Tiongkok untuk ketiga kalinya.
Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (Centris) memandang langkah Xi Jinping kembali membuka diri dan menjalin kembali hubungan dengan beberapa pemimpin negara dunia, untuk menunjukkan ‘power’ kepada rakyat China yang saat ini marah kepadanya.
Peneliti senior Centris, AB Solissa mengatakan taktik cerdik Xi Jinping ini untuk membentuk opini, setelah melihat ada penurunan pamor dirinya sebagai pemimpin Tiongkok paska Kongres Nasional Ke-30 Partai Komunis China.
“Lebih satu bulan paska kongres nasional ke-20 Partai Komunis China, media pemerintah Tiongkok kami mendapatkan informasi jika mereka berhenti menyebut Presiden Xi Jinping sebagai pemimpin rakyat,” kata AB Solissa kepada wartawan, Jumat, (2/12/2022).
Istilah pemimpin atau ‘lingxiu’ digunakan oleh Menteri Luar Negeri Wang Yi menyebut Xi Jinping, lanjut AB Solissa, memang dipandang sebagai bentuk pujian kepada Xi sebagai pemimpin partai besar dan negara besar.
Namun bahasa politik Wang yang unik ini, justru mencerminkan posisi Xi Jinping yang rapuh, dengan kata lain pamornya tengah turun dimata politik rakyat China.
“Kata-kata Wang yang menyebut Xi Jinping sebagai pemimpin negara besar sangat jauh maknanya dari sebutan pemimpin rakyat, yang tentunya mengingatkan bangsa China pada bapak pendiri Tiongkok, Mao Zedong,” tutur AB Solissa.
Disinyalir, hal ini merupakan kemunduran politik Xi Jinping serta memiliki hubungan dengan konstitusi partai yang telah direvisi, dimana teks lengkapnya telah dirilis empat hari setelah kongres nasional Partai Komunis China berakhir.
“Slogan ‘dua pendirian’ yang menunjukkan kesetiaan tertinggi kepada Xi Jinping, tidak dimasukkan ke dalam teks. Ditambah bukan lagi dijuluki sebagai pemimpin rakyat China,wajar jika banyak yang menilai hal ini adalah tanda-tanda kemunduran politik Xi Jinping,” jelas AB Solissa.
Dia juga memandang turunnya pamor politik Xi Jinping dapat di lihat dari situasi China saat ini, dimana rakyat Tiongkok berani melakukan demo besar-besaran meminta Xi Jinping mundur sebagai Presiden
Presiden Xi Jinping terus mendapat tekanan setelah demonstrasi memprotes pemerintah kian sering terjadi di China belakangan ini.
Baru-baru ini, demonstrasi yang terjadi di sejumlah kota seperti Urumqi, Beijing, hingga Shanghai bahkan terang-terangan menuntut Xi dan Partai Komunis untuk mundur.
Baca Juga: BuddyKu Festival, Generasi Muda Wajib Hadir
Follow Berita Okezone di Google News