JAKARTA - Pada tanggal 23 Oktober 1944, pertempuran laut dashyat dimulai di Teluk Leyte, bagian dari Laut Filipina. Pertempuran laut ini adalah yang terbesar dalam sejarah manusia modern.
Selama tiga hari berikutnya, lebih dari 300 kapal perang Amerika Serikat berhadapan dengan sekitar 70 kapal Jepang.
BACA JUGA:Arloji Petugas Kapal Titanic Laku Terjual Rp1,8 Miliar
AS mengerahkan setidaknya 34 kapal induk, jumlah yang hampir sama dengan total kapal induk aktif di seluruh dunia saat ini.
AS ketika itu juga menerbangkan sekitar 1.500 pesawat. Jumlah armada udara mereka melebihi lima banding satu Jepang.
Pertempuran itu memiliki dua dampak besar. Pertama, mencegah Jepang mengganggu invasi Amerika ke Filipina. Negara ini dikuasai Jepang hampir empat tahun sebelumnya.
BACA JUGA:Kapal Karam di Tengah Laut, 5 ABK Berhasil Diselamatkan Nelayan
Perang laut itu juga secara efektif menjatuhkan kekuatan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang selama sisa Perang Dunia II. Demikian dilansir dari BBC, Senin (12/12/2022).
Hampir 30 kapal Jepang tenggelam dan sebagian besar sisanya rusak parah, termasuk termasuk kapal perang terbesar yang pernah dibangun, Yamato. Akibatnya, sebagian besar kapal hanya berlabuh di pelabuhan selama sisa perang.
Secara umum kekuatan AS memang melebihi jumlah armada Jepang, tapi ada satu yang berbeda. Sebuah pasukan kecil, Gugus Tugas 77 yang terdiri atas kapal perusak dan kapal induk tak bersenjata, berjuang melawan formasi Jepang yang jauh lebih besar.
Pertempuran terjadi di lepas pulau Samar. Kalah besar dalam jumlah, armada kecil AS bertempur melawan rintangan yang luar biasa, melawan kapal-kapal Jepang yang jauh lebih besar dan bersenjata lebih mumpuni.
Kapal perusak kecil Amerika yang relatif tidak bersenjata datang sedekat mungkin dengan kapal perang Jepang, mencegah mereka menggunakan senjata jarak jauh yang kuat. Pasukan kecil AS mencegah potensi pembantaian, tetapi perlawanan mereka harus dibayar mahal. Lima dari 13 kapal AS tenggelam.
Salah satunya adalah kapal perusak bernama USS Johnston. Tepat setelah pukul 7 pagi, Johnston terkena peluru dari Yamato. Setelah dua jam pertempuran, setelah terkena lusinan peluru dan dengan orang-orang yang selamat berpegangan di bagian belakang kapal yang hancur, kapal itu akhirnya tenggelam. Dari 327 awaknya, 186 di antaranya terbawa hingga meninggal di bawah laut.
Sejumlah korban selamat menceritakan, salah satu kapten kapal perusak Jepang memberi hormat saat USS Johnston tenggelam ke dasar laut.
Tapi kisahnya belum berakhir
Johnston tenggelam ke kedalaman yang sangat dalam. Pulau Samar terletak di tepi ngarai laut yang luas yang dikenal sebagai Palung Filipina, yang membentang sejauh sekitar 1.320 kilometer di sepanjang garis pantai Filipina dan Indonesia.
Palung ini mengitari sisi timur Pulau Samar, di sisi laut Teluk Leyte. Palung ini sangat, sangat dalam.
Jika Gunung Everest dijatuhkan di titik terdalam Palung Filipina yant bernama Kedalaman Galathea, puncaknya masih akan berada lebih dari 1,6 km di bawah air.
Tidak ada yang tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan USS Johnston untuk mencapai dasar laut. Dia tenggelam melalui lapisan demi lapisan Laut Filipina. Dia menukik ke setiap lapisan yang semakin gelap dan dingin.
Rata-rata kedalaman lautan di dunia adalah 3.688 meter. Di perairan sedalam inilah RMS Titanic tenggelam dalam pelayaran perdananya yang naas pada tahun 1912. Namun kapal USS Johnston jauh melampaui ini.
Kedalaman 4.000 meter merupakan Zona Abyssal, dengan suhu air tak jauh di atas titik beku. Oksigen yang terlarut hanya sekitar tiga perempat dari permukaan laut.
Tekanannya begitu kuat sehingga kebanyakan makhluk tidak bisa hidup di sini. Mereka yang hidup di sini sangat berbeda dalam hampir segala hal dari saudara-saudaranya yang hidup di air dangkal.
Turun lebih jauh dan ada Zona Hadal, lapisan di bawah 6.000 meter dari permukaan.
Zona Hadal ada di palung laut terdalam, sebagian besar di Samudra Pasifik, di mana lempeng tektonik raksasa berada jauh di bawah gelombang.
Istilah hadal berasal dari Hades, dewa dunia bawah Yunani Kuno. Lapisan ini gelap total, suhu berkisar hampir beku, dan tekanannya sekitar 1.000 kali lipat dari permukaan laut.
Di sinilah dasar Palung Filipina. Banyak titik di sepanjang palung yang diukur sedalam sekitar 10.000 meter dan titik terdalamnya mencapai 10.540 meter di bawah permukaan laut.
Di suatu tempat di dalam parit bawah laut yang luas ini, USS Johnston akhirnya berhenti. Lokasi pastinya sangat sulit diprediksi. Permukaan laut sama sekali tidak punya ciri, dan anonimitasnya membuat pencarian lokasi yang tepat dari pertempuran laut menjadi tugas yang menantang.
Tidak ada penanda, tidak ada fitur topografi yang membantu identifikasi. Di bawah ombak, arus, dan pola pasang surut dapat menarik bangkai kapal jauh dari tempat tenggelamnya.
Baru 75 tahun kemudian manusia bisa melihat Johnston lagi. Yang pertama adalah Victor Vescovo.
Vescovo, 54, adalah mantan perwira intelijen Angkatan Laut AS yang belakangan menjadi manajer ekuitas swasta. Dia memiliki hasrat untuk menjelajah dan pada bidang oseanografi. Dia mendaki Gunung Everest dan mengunjungi Kutub Utara dan Selatan.
"Saya telah menjadi pendaki gunung selama 20-25 tahun, dan ketika saya telah melakukan banyak hal yang ingin saya lakukan, saya mencari tantangan yang berbeda. Saya melihatnya sebagai hal simetris untuk ayo, pergi ke lautan dalam," katanya kepada BBC Future dari rumahnya di Texas.
"Dan ternyata tidak ada seorang pun yang pernah pergi ke dasar lima samudra dunia. Dasar empat samudra pun belum ada."
Dia menilai dirinya "berpikiran teknis", dan percaya tantangan yang ada bukan teknologi tetapi pendanaan. "Memang akan sangat mahal, tapi bisa dilakukan," katanya.
"Jadi saya menyiapkan dana, mengumpulkan tim, dan selama tiga tahun berikutnya kami merancang dan membangun kapal selam terdalam dalam sejarah yang mampu menyelam berulang kali, yang belum pernah ada sebelumnya, dan kemudian kami membawanya berkeliling dunia."
Vescovo menguji kapal selam barunya, yang disebut Limiting Factor, dengan menyelam sendirian ke dasar Palung Puerto Rico, titik terdalam di Samudra Atlantik dan dua pertiga kedalaman titik terdalam di dunia.
Awal tahun 2020, Vescovo ambil bagian dalam misi ilmiah bersama seorang ahli kelautan Filipina. Mereka menjadi orang pertama yang menyelam ke dasar Palung Filipina.
"Kebetulan, suatu hari perjalanan ke utara adalah medan perang di lepas Samar," katanya.
"Saya menjadi 'sejarawan militer' sejak kecil dan saya juga di Angkatan Laut AS selama 20 tahun, jadi saya tahu banyak tentang pertempuran itu. Saya pikir akan menjadi upaya yang menarik untuk mencoba dan menemukan bangkai kapal itu."
Vescovo dan sejarawan angkatan laut Parks Stephenson berkelana di bawah laut dengan kapal selam, berharap bisa menemukan bangkai kapal itu.
"Dia belum pernah melakukan sub-diving sebelumnya," kata Vescovo.
"Saya mengatakan kepadanya bahwa hal-hal aneh terjadi di bawah sana' Visibilitas buruk, sangat membingungkan saat turun di bawah 500 atau 1.000 meter, apalagi 6.000 meter. Dan semuanya semakin sulit.
"Dia mengatakan, 'Tidak, tidak, saya '99% yakin kita akan menemukannya, ada di sini.' Benar saja, pada penyelaman pertama, kami berada di sana selama empat jam dan tidak menemukan apa pun," ujar Vescovo.
Penyelaman kedua juga gagal menemukan apa pun, jadi mereka pindah ke lokasi baru untuk penyelaman ketiga. Kali ini lebih berhasil, mereka menemukan kembali puing-puing yang sebelumnya ditemukan oleh kapal selam Vulcan.
"Dengan kapal selam saya, saya bisa mengikuti jejak di mana kapal meninggalkan tanda V di lereng bukit di bawah air, dan kami mengikutinya 500 meter ke bawah, dan saat itulah kami menemukan dua pertiga bagian depan kapal dalam keadaan baik, bentuknya utuh, dengan nomor [identifikasi angkatan laut] di sana, 557. Identifikasi positif."
Tempat peristirahatan terakhir Johnston berada di kedalaman lebih dari 6 kilometer. "Setengah kali lebih dalam dari tempat tenggelamnya Titanic, yaitu 4.000 meter," kata Vescovo.
"Yang menarik dari bangkai kapal ini, ukurannya sekitar seperdua puluh Titanic, jauh lebih kecil."
Upaya yang diperlukan untuk menemukan bangkai kapal di kedalaman seperti itu sangat besar dan melelahkan.
Hanya ada sebagian kecil lautan dunia yang berada di bawah 6.000 meter, sehingga hanya ada sedikit dorongan untuk mendanai teknologi untuk menjelajahinya.
(Nanda Aria)