HETIFAH Sjaifudian, sosok perempuan yang berusia 58 tahun ini kini menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi X DPR RI yang membidangi masalah pendidikan, kebudayaan, kepemudaan dan olahraga, juga dipercaya menjadi Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Bidang Kesra.
Hetifah juga dipercaya sebagai Ketua Forum Persatuan Insinyur-Perempuan Insinyur Indonesia (FPI-PPI).
Dirinya telah duduk sebagai Anggota DPR RI sejak periode 2009-2014, dengan latar belakang sebagai peneliti dan juga aktivis. Tanpa adanya keistimewaan sebagai anggota keluarga dari elite partai politik (parpol), Hetifah memulai karir politiknya dari nol.
Lantas, apa yang memotivasi perempuan kelahiran Bandung ini untuk berkarir di dunia politik yang ia ibaratkan seperti lautan yang penuh marabahaya?
Dalam wawancara khusus dengan Okezone.com, Hetifah menyampaikan niatannya masuk ke politik karena ada sesuatu yang ingin ia lakukan, ia dorong, bahkan mengubahnya. Ia pun meyakini bahwa semua politisi memiliki niatan yang sama, karena melalui politik bisa mendapatkan sebuah kesempatan untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan itu, karena ada pengaruh yang lebih besar ketimbang menjadi aktivis atau peneliti semata.
“Misalnya saya adalah aktivis, saya berusaha memberikan masukan kebijakan apa yang menurut persepsi masyarakat lebih baik, saya lakukan riset, saya buat tulisan, saya advokasi, sebagian berhasil, sebagian tidak berhasil. Karena pembuatan kebijakan politik di Indonesia belum menjadikan data itu penting, belum menjadikan suara publik penting, sehingga data tidak selalu akurat dan tidak selalu digunakan,” ungkap Hetifah, belum lama ini.
Karena itu, Hetifah merasa sebagai peneliti atau aktivis saja tidak cukup membuatnya puas, ia ingin berkontribusi lebih luas. Sehingga, dengan menjadi politisi khususnya di DPR RI, ia akan memiliki pengaruh yang lebih kuat untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan.
Ibu dengan 4 (empat) putri ini menginginkan dua hal. Pertama, sebagai aktivis yang menyuarakan pentingnya partisipasi perempuan dalam pengambilan kebijakan, ia ingin agar suara perempuan dapat diperhatikan dalam membuat kebijakan yang lebih sensitif gender dan pro perempuan, sehingga ia perlu menjadi teladan bagi perempuan yang ingin terjun di politik, merasakan langsung apa yang menjadi penghambat untuk perempuan terlibat aktif.
“Jadi melakukan partisipasi yang lebih bermakna,” imbuh Hetifah.
Kedua, Hetifah melanjutkan, dirinya ingin mendorong kebijakan berbasis pengetahuan, riset dan data. Janganlah suatu kebijakan dibuat karena kepentingan politik tertentu, faktor suka atau tidak suka, dan subjektif, sehingga kebijakan harus berdasar pada apa kepentingan masyarakat. Dan masih ada banyak hal lain yang menambah motivasinya untuk terlibat di politik.
Namun, setelah terjun ke politik praktis, Hetifah sendiri merasakan bahwa dunia politik itu adalah dunia yang tidak ramah terhadap perempuan dan bukan hal yang mudah untuk dijalani oleh perempuan. Bahkan, ia mengibaratkannya seperti lautan yang berbahaya dan perempuan sebagai manusia masuk ke dalamnya. Lain halnya dengan laki-laki yang masuk ke dunia politik, ibarat ikan yang masuk ke laut, sehingga lebih mudah karena menjadi bagian dari ekosistemnya.
“Iya sih sebenarnya tidak mudah, kalau saya ibaratkan itu kalau kita itu berenang di laut, laki-laki seperti ikan, mereka sudah pada ekosistemnya di laut, mereka santai aja, terampil. Beda dengan kita (perempuan) yang seperti manusia yang nyemplung ke laut. Kita menikmati tapi harus dibantu pakai alat bantu, belajar dulu diving, didampingi oleh mentornya, tapi ekosistem kita bukan di situ, bukan di laut, harus difasilitasi bantuan-bantuan agar kita tenang. Berbahaya kalau kita tidak paham berenang masuk ke laut,” ungkap legislator Daerah Pemilihan Kalimantan Timur ini.
Namun demikian, Hetifah bersyukur bahwa ia memiliki sistem pendukung dari unit terkecil yakni keluarga. Juga dari kaum perempuan lainnya yang ia dapatkan di organisasi sayap (orsap) Partai Golkar. Khususnya anak-anaknya yang memberikan banyak energi positif baginya untuk bisa bertahan di dunia politik itu sampai sekarang ini.
“Dari sisi kita sendiri, kita itu kan lingkungan terkecil keluarga, banyak kaum perempuan, saya di orsap partai yang perempuan (KPPG), bagaimana keluarga memberikan motivasi dan kontribusi positif dari anak-anak,” tuturnya.
Untuk itu, Hetifah pun tidak memungkiri bahwa banyaknya fakta seorang politisi perempuan lahir dari keluarga politisi, karena pengalaman itu ditularkan sejak dari dalam keluarga, sejak kecil mereka melihat bagaimana saudaranya atau keluarganya beraktivitas di politik, sehingga mereka lebih terbiasa untuk terjun ke dunia politik. Sehingga, ia pun mendorong peran kaderisasi parpol agar dari manapun latar belakangnya, perempuan bisa diperkuat dan diberdayakan untuk terjun ke politik.
“Karena lewat keluarga pengalaman ditularkan, mereka bisa melihat, kakaknya, saudara lainnya beraktivitas sehingga mereka biasa, yang bukan dari politik susah memulainya dari mana,” terang Hetifah.
“Itu adalah tugas parpol tapi selama ini tugas parpol banyak diberikan oleh keluarga, memfasilitasi, seharusnya partai bisa melakukan itu. Perempuan itu dari kalangan manapun tidak harus dari keluarga politisi, dia diperkuat dan diberdayakan, itu fungsi,” tambahnya.
Hapus Stereotip
Sebagai seorang politisi perempuan, Hetifah juga banyak mendapatkan inspirasi dari tokoh perempuan lainnya, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ternyata, yang menginspirasinya itu bukan hanya tokoh-tokoh perempuan besar yang namanya tersohor, bahkan perempuan-perempuan dari setiap fase kehidupannya dan dari beragam latar juga turut menginspirasi kehidupannya. Karena perempuan yang menginspirasi itu bukan soal besar kecilnya ruang yang dilingkupi, tapi soal bagaimana menghadapi tantangan sebagai perempuan.
“Banyak ya, dari dalam negeri dan juga internasional, lingkungan kuliah, lingkungan keluarga, organisasi, dan banyak belajar dari para pemimpin. Pemimpin dunia pun begitu, sekarang saya banyak pelajari tokoh politik yang dapat membuat kebijakan-kebijakan yang berpengaruh, kalau di Jerman ada Angela Merkel, di Singapura ada presiden yang juga perempuan, juga di Indonesia ada banyak yang semua perempuan menginspirasi, bahkan di level kepala desa, karena semua perempuan memiliki tantangan yang sama baik yang di lingkup besar maupun lingkup yang kecil,” terangnya.
Karena itu, kata Hetifah, dalam memperingati International Women Day yang jatuh pada 8 Maret 2023 ini, ia berharap dua hal pada kaum perempuan. Pertama, perempuan harus memperluas wawasan, horizon ataupun cara berpikirnya, juga kemampuan dalam bekerja sama. Perempuan jangan berpikiran sempit, guna menghapus stereotip perempuan yang selama ini disematkan.
“Kita harus berpikiran luas, tidak berpikiran sempit seperti apa yang sering menjadi tuduhan orang terhadap perempuan. Kan kita sering ada prejudice terhadap perempuan, perempuan itu sering begini, begitu, stereotip begitu,” ujarnya.
Kedua, menurut Hetifah, sudah saatnya perempuan saling mendukung perempuan lainnya. Jangan ada lagi pemikiran bahwa jika melihat perempuan lainnya lebih maju dan berpotensi maju lantas merasa tersaingi. Karena memang dengan kesempatan yang lebih sedikit, membuat persaingan perempuan menjadi lebih ketat, namun bukan berarti sesama perempuan tidak saling mendukung satu sama lain.
“Kita ubah stereotip itu bahwa perempuan apapun latar belakangnya harus bisa saling mendukung dan solidaritasnya diperkuat. Perempuan yang di kota memiliki empati perempuan yang tinggal di desa, perempuan yang lebih berpendidikan memikirkan perempuan yang kesulitan mendapatkan akses pendidikan, dan sebagainya,” pungkas Hetifah.
(Angkasa Yudhistira)