PERTEMPURAN Kerajaan Mataram di bawah kekuasaan Panembahan Senopati melawan Pajang dikisahkan berlangsung singkat. Konon gejolak alam yang didapat usai Senopati meminta bantuan makhluk gaib membuat Pajang kalah.
Padahal, secara kekuatan pasukan pertempuran di Prambanan, Kerajaan Pajang lebih banyak mengerahkan pasukan daripada Mataram. Kekalahan ini membuat sang Sultan Pajang melarikan diri dari kejaran musuh.
De Graaf pada bukunya "Puncak Kekuasaan Mataram : Politik Ekspansi Sultan Agung", mengisahkan bagaimana sang sultan ini melarikan diri ke Tembayat yang keramat. Mengenai hal itu Babad Tanah Djawi mengisahkan Sultan yang malang ini terpaksa melarikan diri itu ingin berdoa di makam Tembayat, tetapi pintu makam tidak dapat dibuka.
Pada Serat Kandha kisah pelarian Sultan Pajang usai kekalahan pertempuran melawan tentara gaib Mataram ini dijelaskan lebih singkat. Pelariannya ke Tembayat membuat sang raja berusaha membuka pintu makam, tetapi sia-sia. Karena itu ia memanjatkan doa di luar.
Ini memberikan firasat kepadanya tentang akan berakhirnya pemerintahannya dan hidupnya. Jatuhnya Raja dari gajah disebabkan oleh binalnya hewan itu. Raja melanjutkan perjalanannya di atas tandu. Dengan demikian, perbedaannya yang besar.
Konon setelah itu Senopati dan pasukan Mataram sempat melakukan pengejaran ke Sultan Pajang. Sang sultan dikejar oleh pasukan kecil dari Senopati sebanyak 40 orang. Pangeran Benawa ingin mengambil kesempatan untuk menghabisinya, karena Senopati hanya disertai oleh sepasukan kecil, tapi Sultan mencegahnya
Sultan Pajang yang sudah kalah perang ini menganggap cara Senopati mengikuti dari belakang menunjukkan sikap hormat. Sultan berpesan agar Benawa selalu bersahabat dengan Senopati, bahkan harus mematuhinya. Apabila, terjadi pertengkaran, ia bahkan tidak akan dapat menjadi Raja Pajang. Sementara itu, para pengiring menangis.
Mereka akhirnya tiba di Pajang. Setibanya di sana, penyakit Sultan bertambah parah. Senopati berkubu di desa iparnya di Mayang. Ia tidak sudi menghadap Sultan Pajang, tetapi juga mau pulang ke Mataram.
Ia ingin tinggal di sana untuk menanti takdir Allah. Senopati pun menyuruh abdinya membeli kembang selasih dalam jumlah banyak, yang selanjutnya ditaruh bertumpuk-tumpuk di pintu barat alun - alun Pajang.
Menurut Serat Kandha raja yang sakit percaya bahwa Senopati yang mengikutinya dari kejauhan bermaksud baik. la tidak memarahi putranya itu tetapi musuh lama Senopati, yaitu Adipati Tuban, yang berniat menyerang Senopati.
Bahkan, penolakan Senopati agar menghadap dipuji oleh raja yang sakit itu dengan memberi penilaian: "Inilah, putraku, yang patut sekali menjadi panglima."
Senopati pun masih tetap bertahan dan berkemah pada malam ketiga di makam kakeknya Ki Gede Ngenis di Laweyan. Saat itulah sang penguasa Mataram ini bermimpi bahwa konon Sultan Pajang tidak lama lagi akan meninggal. Maka, ia menyuruh pengiringnya membeli kembang selasih dan menumpuknya di pintu samping.
(Arief Setyadi )