JAKARTA – Pemerhati hubungan internasional dan dinamika geopolitik global, Imron Rosyadi Hamid, mengingatkan pentingnya prinsip politik luar negeri bebas aktif yang diabadikan untuk kepentingan nasional berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999.
Indonesia berusaha tidak terikat oleh blok-blok kekuatan besar dunia dan aktif dalam menjaga perdamaian serta stabilitas internasional. Selain itu dia juga mengingatkan pentingnya prinsip non-intervensi yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB, yang melarang campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain.
Hal itu terkait dengan kompleksitas hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat dan China, serta bagaimana isu-isu global seperti konflik Uighur. Isu ini dibahas dalam seminar bertajuk “Indonesia di Tengah Isu Uighur dan Rivalitas Amerika-China diadakan” yang diadakan Indonesia Society for Chienis Studis (ISCS).
Imron juga menjelaskan sejarah hubungan Indonesia dengan China dan Amerika Serikat. Pada periode 1950-1965, hubungan Indonesia dengan China sangat baik, namun mengalami kebekuan signifikan pada 1966-1989 akibat faktor politik internal dan eksternal.
Memasuki era reformasi, hubungan kedua negara kembali membaik dengan peningkatan kerjasama di berbagai bidang seperti ekonomi, investasi, dan budaya. Di sisi lain, hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat telah menjadi kemitraan yang kuat sejak era Orde Baru hingga sekarang, mencakup bidang perdagangan, militer, dan pendidikan.
Terkait pemberitaan mengenai Uighur, Imron meminta masyarakat Indonesia bijak memberi penilaian. Media Barat sering kali melaporkan bahwa Uighur mengalami penindasan, namun fakta-fakta tersebut sulit dibuktikan. Justru, beberapa tokoh yang mengklaim memperjuangkan HAM Uighur, seperti Dolkun Isa dan Nury Turkel, terlibat dalam pelanggaran HAM.
Dolkun Isa, ketua World Uyghur Congress (WUC), dilaporkan melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswi Uighur. Nury Turkel, ketua Uighur Human Rights Project, juga dituduh melakukan hal serupa dan akhirnya mundur dari jabatannya.
“Masyarakat Indonesia diharapkan semakin cermat dalam memilah sumber informasi agar tidak mudah dimanipulasi,” ucapnya, dikutip Rabu (10/7/2024).
Sementara itu pengamat yang lain, Veronica Saraswati, Ph.D memaparkan perkembangan ekonomi China sejak tahun 90-an, di mana China kini menjadi investor terbesar di Indonesia. Ia menyoroti bagaimana perusahaan-perusahaan besar seperti Tesla dan Apple mendirikan bisnis di China, yang menunjukkan kekuatan dan daya tarik ekonomi negara tersebut.
Veronica juga membahas perjanjian AUKUS antara Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, yang meningkatkan ketegangan geopolitik di kawasan Asia-Pasifik. Perjanjian ini dipandang oleh China sebagai ancaman terhadap stabilitas regional dan upaya AS untuk memperkuat aliansi strategisnya.
Selain itu, Veronica menyinggung isu separatisme di Taiwan dan Hong Kong serta bagaimana negara-negara Barat terlibat dalam upaya menyelesaikan masalah ini. Ia menekankan perlunya ASEAN, termasuk Indonesia, untuk lebih sadar dan responsif terhadap isu-isu geopolitik seperti AUKUS yang dapat berdampak pada keamanan dan stabilitas kawasan.
(Qur'anul Hidayat)