SIAPA sangka, di balik penampilannya yang gagah dan menggelegar suaranya saat berpidato, Soekarno punya gaya hidup bersahaja. Bahkan secara ekonomi tidak berlimpah seperti layaknya seorang penguasa.
Roso Daras menuliskan bahwa dalam buku “Fatmawati Sukarno, The First Lady” bahwa Sukarno, mungkin satu-satunya presiden termiskin di dunia. Semasa hidupnya, ia hanya memiliki satu rumah di Batutulis, Bogor.
Untuk melukiskan kondisi ekonominya, kepada Cindy Adams, Bung Karno pernah bertutur, “Dan, adakah kepala negara lain yang lebih melarat dari aku, dan sering meminjam-minjam (uang) dari ajudannya?"
Dikatakan Roso bahwa selama menjabat, Bung Karno tinggal di Istana milik negara. Bung Karno sendiri tercatat hanya memiliki sebuah rumah di Batu Tulis, Bogor. Rumah-rumah yang lain ia belikan untuk istri-istrinya.
"Sedangkan rumah Batu Tulis pun, selengsernya Bung Karno langsung disita Sekretariat Negara. Aneh. Entah atas dasar apa, rumah milik pribadi Bung Karno satu-satunya itu diambil oleh negara. Bahkan, Gubernur DKI Ali Sadikin, pernah memberi sebuah rumah dan sebidang tanah untuk tinggal keluarga Sukarno," tulis Roso.
Semua harta pribadi milik Bung Karno yang ia tinggalkan di Istana, saat ia “diasingkan” oleh rezim Orde Baru, sebatas hanya didata, tetapi barang-barangnya raib entah ke mana.
Hidup prihatin memang dialami Bung Karno sejak masa kanak-kanak. "Aku dilahirkan di tengah-tengah kemiskinan dan dibesarkan dalam kemiskinan. Aku tidak mempunyai sepatu. Aku mandi tidak dalam air yang keluar dari keran."
"Aku tidak mengenal sendok dan garpu. Ketiadaan yang keterlaluan demikian ini dapat menyebabkan hati kecil di dalam menjadi sedih,” ungkap Bung Karno, dikutip Cindy Adams dalam buku "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" (1965).
Bung Karno menambahkan, gaji yang diterima bapaknya, Soekemi tak seberapa. Gaji itu hanya cukup untuk makan sehari-hari dan sewa rumah. Kehidupan semakin sulit dirasakan saat Bung karno berusia enam tahun.
Saat itu keluarga Bung Karno pindah ke Mojokerto. Bung Karno lalu tinggal di lingkungan yang dihuni oleh sebagian besar orang miskin. Akan tetapi mereka selalu punya sisa uang sedikit untuk membeli papaya atau jajan yang lain. Sementara, Bung Karno tidak sama sekali. Ia lebih miskin dari orang-orang yang bahkan dipandang miskin secara umum.
Saat lebaran tiba, segenap umat Islam berpesta. Namun tidak bagi keluarga Bung Karno. Keluarganya bahkan tak pernah berpesta maupun mengeluarkan fitrah. Keluarganya, kata Bung Karno tak punya uang untuk itu.
Jangankan untuk berpesta di hari Lebaran, untuk main petasan saja Bung Karno nyaris tak pernah merasakannya. Ia tak pernah punya uang jajan. Bung Karno hanya bisa mengintip anak-anak lain main petasan lewat lubang udara di kamar tidurnya.
“Di sekeliling terdengar bunyi petasan berletusan di sela oleh sorak-sorai kawan-kawanku karena kegirangan. Betapa hancur luluh rasa hatiku yang kecil itu memikirkan, mengapa semua kawan-kawanku dengan jalan bagaimanapun dapat membeli petasan yang harganya satu sen itu, dan aku tidak!” ucap Bung Karno.
Ketika Bung Karno tidak memjabat sebagai Presiden, anak-anaknya tidak pernah mewarisi harta Bung Karno yang berlebihan. Mereka juga harus bekerja untuk menopang hidupnya.
"Guntur dipaksa berhenti sekolah, dan bekerja membantu ibunya. Mega, Rachma, Sukma hidup bersama suaminya. Mereka masih sering berkumpul di rumah ibunya, di Jl. Sriwijaya 26, Jakarta Selatan," ujar Roso.
Kehidupan Fatmawati sendiri jauh dari kemewahan, sekalipun ia janda presiden, mantan first lady negara ini. "Manakala hujan turun deras, air masuk karena atap yang bocor. Beberapa bagian langit-langit rumahnya bahkan tampak rapuh dan rusak. Sebagai janda presiden, Fatmawati tidak menerima tunjangan barang sepeser. Ia, baru menerima tunjangan resmi pada Juni 1979, sembilan tahun setelah kematian Sukarno," beber Roso.
Tahun 1972, rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya harus ditinggalkan karena tak kuat menanggung biaya perawatan rutin. Fatma mengontrakkan rumah itu. Rumah yang telah menemaninya dalam kesedihan dan kesepiannya. Uang kontrakan dipakai antara lain membiayai Guruh kuliah di Belanda.
Fatma sendiri hidup bersama ibunya, Khadijah di Jalan Cilandak V, Jakarta Selatan, tak jauh dari lokasi yang sekarang terkenal dengan Rumah Sakit Fatmawati.
(Qur'anul Hidayat)