JAKARTA - Semasa remaja Raden Widodo gemar semadi atau menyepi di gunung-gunung Tanah Jawa. Kelak jalan hidup membawanya sukses menembus pangkat bintang empat alias jenderal penuh TNI dengan jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Bagaimana ceritanya?
Widodo lahir di Yogyakarta, 25 April 1926. Ayahnya, Raden Ngabehi Taruno Hartono sedangkan ibunya, Raden Ayu Rukmiati. Kelahiran yang bersamaan fajar menyingsing itu tak pelak membuat keluarga ini larut dalam kebahagiaan. Sang ayah memberinya nama Widodo yang berarti ‘selamat sejahtera’.
Widodo termasuk keluarga ningrat. Raden Taruno Hartono merupakan keturunan Raden Ronggo Mangun Winoto, seorang yang memiliki trah bangsawan keraton. Demikian pula Raden Ayu Rukmiati, juga masih terhitung ningrat. Bila ditelusuri, kakek Rukmiati masih kerabat Pangeran Diponegoro.
Untuk diketahui, Pangeran Diponegoro merupakan putra pertama dari Gusti Raden Mas Suraja-Raden Ayu Mangkarawati (istri selir). Dalam perjalanan sejarah, ayah Pangeran Diponegoro naik takhta sebagai Raja Yogya bergelar Hamengku Buwono III.
“Dengan silsilah demikian, Widodo termasuk priyayi Jawa. Tak mengherankan namanya kemudian dikenal sebagai Raden Widodo,” tulis buku biografi ‘Jenderal TNI R Widodo: Potret Dedikasi Seorang Prajurit kepada Bangsa’ yang disusun Dinas Sejarah Angkatan Darat (Disjarahad) pada 2015.
Dalam kehidupan sehari-hari, Raden Taruno Hartono bekerja sebagai mantri pemicis atau penarik pajak di Desa Mlati, Gunungkidul. Dengan gaji 25 gulden per bulan dan harus menghidupi 13 putra-putri termasuk Widodo, keluarga Raden Taruno mesti merasakan hidup dalam keprihatinan.
Widodo remaja berperawakan tegap. Di kalangan teman sepermainannya, dia kerap dijadikan ketua karena sikapnya yang tegas. Tak dimungkiri darah keprajuritan mengalir deras dari silsilah ibu.
Pada masa itu, Widodo muda kerap memperhatikan lingkungan sekeliling. Jiwanya teriris kala melihat rakyat mendapat perlakuan kejam dan semena-mena dari penjajak Belanda. Ingin sekali dirinya memberontak. Namun, pada usia belia itu dirasa belum memungkinkan. Situasi itu yang kerap mengusik batinnya.
Untuk mengusir perasaan itu, Widodo kerap menyepi di gunung-gunung. Dia pernah menyendiri sambal berpuasa untuk mencari inspirasi (semacam semadi) di Gunung Lawu, Gunung Plawangan, Gunung Durgo, Gunung Slamet hingga Sumbing.
“Karena dengan menyepi dan naik gunung, menurut pendapatnya, bisa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa,” tulis Disjarahad.
Pernah terjadi peristiwa unik. Suatu hari saat perjalanan turun dari gunung, dia berpapasan dengan seorang ibu yang merintih kesakitan. Ketika ditanya Widodo, sang ibu mengaku sedang sakit perut.
Widodo menawarkan bantuan untuk mengobati. Dia lalu mengambil segelas air dan berdoa meminta kesembuhan. Air itu lantas diminumkan kepada ibu sakit tersebut.
“Setelah diminum, alhamdulillah ibu itu pun sembuh. Dari situ ibu tersebut bercerita kepada orang-orang kalau saya pandai mengobati,” kata Widodo. Namun gara-gara dianggap ‘orang pintar’ itu lah Widodo sempat dimarahi ayahnya.
Berkarier sebagai tentara menjadi pilihan hidup Widodo. Terbakar gelora melawan penjajah, dia mendaftarkan diri masuk pendidikan Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Nama lengkapnya, Jawa Bo-ei Gyugun Kanbu Rensitai. Pelatihan militer di masa pendudukan Jepang itu menempa Widodo.
Pada 5 April 1944 dia akhirnya lulus dan dilantik di Jakarta. Widodo resmi menyandang jabatan Shodanco alias komandan peleton. Pada September 1944 dia mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan Kato Kyaiku, kemudian berlanjut Kendo Syugo Kyoiku pada Februari 1945.
Waktu terus bergulir, Widodo diterjunkan dalam berbagai tugas, termasuk terlibat dalam Serangan Umum 11 Maret di Yogyakarta. Widodo menjadi salah satu komandan dari pasukan yang menyerang Kotabaru di bawah pimpinan Mayor Soeharto. Kelak Soeharto melesat jadi Pangkostrad hingga akhirnya Presiden RI.
Karier Widodo tak mulus-mulus amat. Dia sempat 11 tahun menyandang pangkat kapten. Kariernya mulai meroket ketika sukses menghabisi sisa-sisa PKI di Yogyakarta. Pada 6 Juli 1968 dia dipromosikan sebagai Pangdam III/17 Agustus di Sumatera Barat. Setelah itu dia promosikan sebagai Panglima Kowilhan I/Sumatera (1973-1974), lalu Panglima Kowilhan II/Jawa, Bali & Nusa Tenggara (1974-1977).
Kariernya mencapai puncak ketika dipercaya Soeharto sebagai KSAD ke-12 (1978-1980). Namun keputusannya membentuk Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI AD pada 1 April 1978 menjadi jalan menuju akhir jabatannya.
Fosko, bagi Widodo, sebenarnya dimaksudkan sebagai wadah bagi para purnawirawan untuk memberi masukan ke petinggi AD. Masalahnya, forum ini menjadi tempat pensiunan vokal untuk menguliti Soeharto. Mereka mengkritik pemerintahan yang dianggap gagal menciptakan kesejahteraan. Soeharto dicap mulai sewenang-wenang.
“KSAD Jenderal Widodo membentu Fosko, sebuah lembaga yang dinilai terlalu keras mengkritik Soeharto,” kata A Pambudi dalam buku Sintong & Prabowo.
“Dalam 12 bulan, para pensiunan jenderal di Fosko telah menghasilan lima paper (tulisan ilmiah). Semuanya memperingatkan, jika pemerintah tidak melakukan perbaikan, akan terjadi kesenjangan antara rakyat dan TNI,” kata David Jenkins dalam Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics 1975-1983.
Tentu saja kehadiran Fosko membuat penguasa Cendana murka. Alhasil nasib Widodo di pucuk pimpinan AD tidak berlangsung lama. Hanya dua tahun saja dia menjabat KSAD, kemudian diganti Jenderal TNI Poniman. Widodo meninggal dunia pada 19 Februari 1993.
(Zen Teguh)