JAKARTA - Tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya menuai sorotan karena mengancam kelestarian alam. Pemerintah pun diminta untuk mengkaji ulang penerbitan izin usaha tambang (IUP) nikel tersebut.
Menurut pakar hukum Henry Indraguna, pemerintah perlu mengkaji ulang IUP, namun tetap memperhatikan hak-hak hukum dari pemilik izin tambang. Ia mendorong hal itu karena Raja Ampat merupakan kawasan konservasi laut dan destinasi prioritas nasional yang mesti dijaga dari ancaman kerusakan.
Evaluasi kebijakan, lanjutnya, perlu dilakukan terutama terhadap pertambangan yang berada dalam radius sensitif ekologi. Lokasi tambang ke smelter berdampak pada ekosistem laut. Ia tak memungkiri untuk pertumbuhan ekonomi, tetap harus seimbang dengan pengelolaan sumber daya alam, khususnya komitmen melindungi kawasan konservasi.
"Saya mendorong kebijakan aktivitas tambang nikel di Raja Ampat, tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tapi juga kelestarian lingkungan dan masa depan. Aktivitas tambang nikel dapat memicu kerusakan alam dan menyengsarakan masyarakat adat," katanya lewat keterangan tertulis, Minggu (8/6/2025).
Untuk pemberdayaan wilayah Raja Ampat sebagai Kawasan Lindung Permanen Pemerintah, ia mendorong dikeluarkannya Perda atau Perpres penetapan Raja Ampat sebagai Kawasan Ekosistem Laut dan Darat yang Dilindungi Permanen. Sehingga menjadikan seluruh Raja Ampat zona eksklusif non-tambang, melainkan ekowisata dan konservasi.
Henry menambahkan, pemerintah sebaiknya menolak investasi tambang baru di wilayah konservasi. Sebaliknya, mempromosikan Raja Ampat untuk investasi berbasis alam dan berkelanjutan, misalnya Eco-resort, Energi surya dan kelautan, Wisata bahari komunitas.
Pemerintah harus bersikap tegas dan transparan serta berpihak pada keadilan ekologis dan masyarakat adat, mengingat Raja Ampat bukan hanya kawasan kaya mineral, namun warisan dunia yang tak tergantikan. Begitu juga soal IUP perlu diperhatikan penerbitannya.
"Dampak lingkungan dan sosialnya, aktivitas pertambangan di Raja Ampat menimbulkan kerusakan ekosistem laut Raja Ampat yang dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia. Eksploitasi tambang dapat merusak terumbu karang dan habitat laut lainnya," imbuhnya.
Ia menilai ketidakterlibatan masyarakat adat dalam proses perizinan dapat memicu konflik sosial dan ketidakpuasan. Respons masyarakat adat aktivis lingkungan, dan pelaku pariwisata di Raja Ampat telah menyuarakan penolakan terhadap aktivitas pertambangan, dengan alasan ancaman terhadap kelestarian lingkungan.
"Mereka khawatir bahwa pertambangan akan merusak ekosistem yang menjadi sumber mata pencaharian dan identitas budaya mereka," imbunya.
Doktor lulusan UNS dan Universitas Borobudur itu menegaskan, aktivitas pertambangan tanpa persetujuan masyarakat adat, dapat dianggap melanggar hak-hak mereka yang diakui secara hukum. Ia pun kembali menekankan agar pemerintah mengevaluasi menyeluruh perizinan pertambangan di Raja Ampat. Kemudian, libatkan masyarakat dalam mengambil keputusan.
"Langkah-langkah ini sangat penting untuk memastikan bahwa pembangunan tambang di Raja Ampat berlangsung secara berkelanjutan dan adil bagi semua pihak yang terlibat," ujarnya.
Ia mengatakan, dasar hukum IUP bisa dicabut jika ditemukan pelanggaran izin lingkungan (UU No 32 Tahun 2009), yakni tidak adanya persetujuan masyarakat adat karena bertentangan dengan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012.
"Potensi pelanggaran izin kawasan konservasi laut dan hutan lindung. Pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM punya alasan mencabut IUP jika terdapat pelanggaran Amdal atau dampak serius terhadap lingkungan," katanya.
Kontribusi ekonomi dari tambang di Pulau Gag, menurutnya, juga bersifat jangka pendek, terbatas, dan padat modal, bukan padat karya. Justru, ekowisata Raja Ampat menyumbang triliunan rupiah per tahun dan membuka ribuan lapangan kerja langsung bagi masyarakat lokal.
Ia juga menyotori jika Indonesia sedang mengkampanyekan diri sebagai pemimpin iklim dan konservasi kawasan laut di dunia. Ia menilai, jika tambang terus dilanjutkan, akan ada tekanan internasional, seperti dari WWF, PBB, hingga negara donor seperti Norwegia dan Jerman.
"Keputusan untuk memberhentikan tambang di Raja Ampat menunjukkan keberpihakan negara, kepada hak masyarakat adat sebagai pemilik tanah ulayat," pungkasnya.
(Arief Setyadi )