JAKARTA - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh mengakui pada pelaksanaan perdana program Affirmative Action bagi mahasiswa baru (maba) Papua, masih memiliki banyak kekurangan. Beberapa hal tersebut terkait pengadaan guru maupun sekolah unggulan.
"Pada implementasi dalam program Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), rapor kementerian banyak merahnya. Tapi terus terang, itu di luar kemampuan kami," ungkap M Nuh dalam pertemuan dengan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI), UP4B, dan Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Djoko Santoso, di Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (23/10/2012) malam.
Salah satunya, kata M Nuh, mengenai pembangunan SMA/SMK unggulan di Papua. "Anggaran sudah ada tapi urusan tanah yang menjadi kendala. Semoga Bapak/Ibu pimpinan bisa membantu mengatasinya. Semoga selama dua bulan ini bisa digenjot sehingga anggaran yang sudah ada bisa dialokasikan," tuturnya.
Menurut M Nuh, pembangunan SMA/SMK unggulan merupakan program inpress. Persyaratan yang diberikan, yakni tanah disiapkan oleh kabupaten kota. "Kabupaten/kota itu masih belum bisa menyiapkan tanah yang tidak sengketa. Universitas Cenderawasih (Uncen) Papua saja masih digugat karena tanah ulayat. Sampai tanahnya jelas," tukas mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) itu.
Sementara itu, mengenai kekurangan tenaga guru di Papua, ujarnya, dapat diselesaikan lewat guru juga. "Di NTT ada 1.400 guru. Di Papua mungkin sekitar 1.000. Menunggu anak ini disekolahkan baru lulus jadi guru tidak mungkin. Guru yang sudah siap kita kirim ke sana sembari di sana kita sekolahkan anak yang jadi guru," pungkasnya.
M Nuh menyebutkan, masalah penyesuaian kompetensi serta budaya dan kebiasaan pada program afirmasi ini juga harus segera dicarikan jalan keluar. Solusinya, ungkap M Nuh, dengan mengadakan pendampingan dan program matrikulasi.
"Lakukan pendampingan pembinaan selama di kampus karena ada kultur yang berbeda. Mereka masuk ke transformasi sosial yang masuk ke budaya baru. Dari Papua ke masyarakat akademik. Di situlah perlu pendampingan. Matrikulasi sangat perlu supaya mahasiswa yang pindah-pindah program studi (prodi) bsa dihindari," imbuh mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya itu.
Dia berharap, program afirmasi ini dapat diimplementasikan secara lebih luas. "Tidak boleh terpaku pada Papua saja tapi juga Aceh, Maluku Utara, dan NTT. Pendekatan dari provinsi kemudian kabupaten/kota. Daerah-daerah yang lain juga harus diberikan kesempatan untuk afirmasi ini," tandasnya.
Program Affirmative Action ialah mekanisme seleksi nasional, khusus siswa SMA/SMK/MA/MAK dan sederajat dari Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat berdasarkan penjaringan prestasi akademik tanpa ujian tertulis dan/atau keterampilan.
Sekolah yang berhak mengikuti Program Affirmative Action adalah sekolah yang direkomendasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Salah satu tujuan program ini adalah membuka kesempatan kepada seluruh siswa yang berprestasi akademik tinggi dari Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, untuk memperoleh pendidikan tinggi.
(Rifa Nadia Nurfuadah)