BANDA ACEH - Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh diminta tidak asal mengeluarkan fatwa sesat atau menjurus sesat terhadap komunitas tertentu, karena hal itu akan menimbulkan kekerasan dalam masyarakat.
 
Masyarakat butuh bimbingan ulama dalam menghadapi perbedaan-perbedaan pandangan agama, bukan fatwa saling menyesatkan.
 
"Kami sampaikan pesan ini kepada MPU setelah mendapat informasi dari sumber-sumber terpercaya bahwa MPU akan mengeluarkan fatwa menjurus sesat terhadap Teungku Barbawi, salah seorang guru Dayah Al-Mujahadah, Sawang, Aceh Selatan," ujar Juru bicara Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariat (JMSPS) Affan Ramli dalam siaran persnya kepada Okezone, Selasa (26/2/2013).
 
Fatwa seperti itu, kata dia, bukan saja tidak menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan masalah lebih besar. “Tidak cukupkah kita belajar dari tragedi yang menimpa Teungku Aiyub di Plimbang? Mengapa MPU tidak mempertimbangkan prinsip maslahah ketika hendak memutuskan cara menyelesaikan perkara tuduhan sesat dalam masyarakat?,” kata Affan.
 
Lebih dari itu, Qanun (Perda) Nomor 2 Tahun 2009 memberikan MPU dua wewenang, yaitu menetapkan fatwa terhadap masalah pemerintahan, pembangunan, ekonomi, sosial budaya dan kemasyarakatan, dan memberikan arahan terhadap perbedaan pendapat dalam masalah keagamaan baik sesama umat Islam maupun antar umat beragama lainnya.
 
"Jadi qanun ini pun meminta MPU memberikan arahan dalam menyelesaikan perbedaan-perbedaan pendapat terkait agama dalam masyarakat," tambah Affan.
 
Setelah menyaksikan kekerasan amuk massa terhadap komunitas Teungku Aiyub di Plimbang, Bireuen dan komunitas Laduni di Aceh Barat, JMSPS menuntut penyelesaian-penyelesaian kasus gugatan sesat terhadap orang atau kelompok tertentu, sejak hari ini sampai kapan pun, haruslah melalui mekanisme Mahkamah Syar'iah sebagaimana dijelaskan oleh Qanun Nomor 11 Tahun 2002.
 
“Penyelesaian masalah ini melalui fatwa MPU bukanlah jalan terbaik, karena dua alasan. Alasan pertama, MPU bukan lembaga peradilan, maka tidak memiliki mekanisme pengambilan keputusan yang adil, tidak memiliki mekanisme pengujian validitas data yang seimbang dan obejektif antara informasi-informasi yang saling bertentangan dari dua pihak yang bertikai (penggugat dan pihak tergugat),” jelas Affan.
 
Kedua, keputusan atau fatwa MPU berbentuk pernyataan sesat atau menjurus sesat diiringi dengan perintah menutup majlis/pengajian/dayah tertentu akan menjadi sumber kekerasan dalam komunitas sekitar lokasi kasus.
 
“Karena tidak ada badan negara yang mengeksekusi fatwa atau keputusan demikian. Pihak tervonis tidak mau menghentikan aktifitasnya, lalu masyarakat menyerang dengan amuk massa. Peran MPU dalam menyelesaikan kasus aliran sesat tetap penting, tapi pada wewenang memberikan arahan, bukan membuat fatwa. Adapun jalan penyelesaian terbaik haruslah melalui Mahkamah Syar'iah. Agar perdamaian dan ketentraman dalam masyarakat Aceh terpelihara,” ujarnya.
(Susi Fatimah)