“Kekerasan ini yang keliru dan salah tapi tetap diikuti oleh orang-orang yang beraliran keras dan tidak mengerti Islam sebenarnya. Seperti bom bunuh diri di Polres Solo beberapa hari lalu sehari sebelum lebaran. Padahal agama Islam itu sangat mengajarkan kedamaian, toleransi dan kasih sayang antar sesama umat lainnya,” sesal Adnan.
Dijelaskan alumnus Fisip Universitas Airlangga Surabaya ini, sejatinya Idul Fitri juga bisa diartikan sebagai puncak dari pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadan. Idul Fitri sendiri memiliki keterkaitan makna dengan tujuan akhir yang ingin diraih dari pelaksanaan kewajiban berpuasa yang bisa diartikan sebagai hari kemenangan bagi umat Islam.
“Kemenangan di sini adalah bentuk dari kemenangan dalam menggapai kesucian atau perwujudan dari kembali kepada keadaan fitrah atau fitri. Dari dua makna diatas, sangat bertolak belakang, radikalisme mengarah kepada perbuatan kepada kekerasan, sementara Idul Fitri, bermakna kesucian,” ujarnya.
Ia menegaskan, apabila dalam perayaan Idul Fitri, ada perbuatan radikalisme yang dilakukan juga oleh umat muslim karena ketidaksepahaman keyakinan ataupun menganggap kelompoknyalah yang paling benar dalam melakukan ibadah, maka orang tersebut tidak benar memaknai hari raya Idul Fitri.
Pria yang juga menjadi penghubung PBNU dengan negara-negara di Timur Tengah ini mengatakan bahwa silaturahim adalah sarana aktivitas yang sangat penting untuk dilakukan dalam rangka meningkatkan tali persaudaraan demi terwujudunya persatuan umat yang lebih kuat. Karena kekuatan silaturahim umat yang begitu besar dampaknya akan berujung pada kekuatan persatuan nasional yang lebih baik ke depannya.