Pembebasan itu sebenarnya digunakan untuk kepentingan rakyat, seperti sekolah, perumahan rakyat, pelabuhan, rumah sakit. Tapi nyatanya izin prinsip yang dimiliki tergugat (sebelumnya bernama CV Pembangunan Darmo) telah disalah gunakan untuk perumahan mewah.
Seiring waktu dengan ganti nama dari Kodya Dati II Surabaya menjadi Pemkot Surabaya pada 2003, Wali Kota Surabaya yang saat itu dijabat Bambang Dwi Hartono (DH) meminta supaya Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surabaya membatalkan dua sertifikat yang diterbitkannya untuk pihak tergugat.
Permintaan pembatalan penerbitan sertifikat nomor 2083 dan 2084 pada tahun 2002 tersebut, didasari atas hasil rekapitulasi pembebasan yang dilakukan P2TUN tahun 1973.
Surat Keputusan Walikota itu digugat pihak tergugat ke PTUN Surabaya, tapi gugatannya kalah hingga ke tingkat kasasi Mahkamah Agung. Kendati demikian, pihak BPN Surabaya tetap mengabaikan SK Wali Kota Surabaya era Bambang DH dengan tidak melakukan pembatalan. Hingga akhirnya, warga melayangkan gugatan di PN Surabaya.
Perjuangan warga Tanjungsari bukanlah yang pertama kali dilakukannya. Dua kali gugatan class action ditolak hakim PN Surabaya. Namun dalam gugatan perdata jilid III, gugatan mereka akhirnya dikabulkan PN Surabaya.
(Risna Nur Rahayu)