PERDEBATAN mengenai hak guna usaha (HGU) lahan yang dinilai dikuasai segelintir pengusaha mengemuka sejak debat kedua pilpres pada Minggu 17 Februari 2019. Calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo mengatakan capres 02 Prabowo Subianto menguasai HGU untuk lahan seluas ratusan ribu hektare.
Sebaliknya, kubu Prabowo menyebut sejumlah pengusaha pendukung Jokowi juga memegang HGU atas lahan besar. Namun, publik tidak dapat mengetahui persis data rinci kepemilikan lahan itu karena pemerintah menutup akses informasi dengan dalih hak privasi.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan (ATR/BPN) mengklaim data HGU, terutama yang menyangkut nama pemegang hak dan luas lahan, sebagai informasi privat.
Potensi KKN
Keengganan membuka data HGU itu bertolak belakang dengan putusan kasasi Mahkamah Agung dalam perkara keterbukaan informasi yang diajukan lembaga pemantau hutan Forest Watch Indonesia (FWI).
MA memerintahkan Kementerian ATR membuka nama pemegang HGU, lokasi, luas lahan, peta area, dan jenis komoditas yang diproduksi di atas lahan tersebut.
Direktur FWI Soelthon Gussetya Nanggara menyebut selama ini masyarakat tidak pernah tahu kepada siapa saja pemerintah meminjamkan lahan. Akibatnya, menurut dia, proses pemberian HGU berlangsung berlangsung tanpa pengawasan. Korupsi dan kolusi pun berpotensi muncul karena terjadi di ruang gelap.
"Tidak ada argumentasi logis lagi dari pemerintah untuk menutup data ini. Publik tidak pernah tahu," ujar Soelthon, Selasa 19 Februari 2019.
"Kalaupun ada situs berisi wilayah persebaran HGU, di situ tidak ada data pemilik, luas, atau komoditas. Nama pemilik sebenarnya paling penting agar kita tahu kepada siapa saja lahan negara ini diserahkan."
Kementerian ATR membantah menutup data pemegang HGU demi kepentingan pelaku bisnis. Mereka mengklaim tengah berkonsultasi dengan Kemenko Perekonomian terkait jenis data yang akan dipublikasikan.
Kementerian ATR bertindak salah satunya dengan merujuk Pasal 17 Undang-Undang 14 Tahun 2008. Pasal itu menyebut 10 pengecualian terhadap informasi yang wajib dibuka kepada masyarakat.
"Ada aturan untuk melindungi hak privat. Bayangkan kalau ada orang datang ke kantor saya, minta seluruh data tentang Anda," ujar Juru Bicara Kementerian ART Horison Macodompis.
"Intinya kami bukan tidak ingin membuka data itu ke publik, tapi kami harus berhati-hati karena ini menyangkut hak keperdataan seseorang," tuturnya.
Merujuk Laporan Tahunan 2017 Ombudsman, dari total 8.264 aduan, dugaan maladministrasi pemerintah paling banyak berkaitan dengan isu pertanahan (13,43 persen).