BENGKULU - Komunitas Kerukunan Tabut (KKT) Bengcoolen, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, tetap menggelar prosesi 'mengambil tanah' dalam menyambut bulan Muharram atau tahun baru Islam.
Prosesi mengambil tanah itu dilakukan keluarga pewaris Tabut Sakral yang memiliki 17 Kelompok. Terdiri dari sembilan kelompok Tabut Syech Burhanuddin Imam Senggolo dan delapan kelompok Tabut Bansal.
Dalam prosesi pengambilan tanah pada 29 Dzulhijjah malam atau malam 1 Muharram, keluarga pewaris Tabut sembilan kelompok Tabut Imam Senggolo mengambil tanah yang dikeramatkan, di Kelurahan Anggut Bawah, Kelurahan Ratu Samban, Kota Bengkulu.
Baca Juga: Pawai Obor di Kebon Jeruk Jakbar, Ratusan Warga Banyak Tak Bermasker
Sementara delapan kelompok Tabut Bansal mengambil tanah di Kelurahan Malabero Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu. Prosesi itu sendiri berlangsung tidak kurang dari satu jam yang dimulai sekira pukul 22.01 WIB hingga 23.01 WIB.
Di masa pandemi Covid-19 ini, prosesi ritual mengambil tanah sedikit berbeda dari tahun sebelumnya. Di mana, pada tahun sebelumnya terdapat iringin dol dari Keluarga Keturunan atau pewaris Tabut. Namun, pada tahun ini tidak dilakukan iringan dol.
Selain itu, keluarga pewaris tabut berjalan kaki dari rumah Imam di Kelurahan Pasar Melintang, Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu menuju lokasi pengambilan tanah yang dikeramatkan di Kelurahan Anggut Bawah, Kelurahan Ratu Samban, Kota Bengkulu.
Baca Juga: Meski Dilarang, Warga Bekasi Tetap Gelar Pawai Obor
Pada tahun ini, hal tersebut tidak dilakukan keluarga pewaris tabut Imam. Di mana mereka melakukan dengan cara menaiki kendaraan menuju lokasi pengambilan tanah yang dikeramatkan.
Ketua Komunitas Kerukunan Tabut (KKT) Bengcoolen, Syiafril Syahbudin mengatakan, dalam menyambut bulan Muharram atau tahun baru Islam, keluarga pewaris Tabut tetap melakukan prosesi ritual mengambil tanah.
Namun, kata Syiafril, prosesi tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Di mana dalam prosesi ini tidak melibatkan orang banyak hal ini guna menghindari penyebaran Covid-19.
Selain itu, kata Syiafril, dalam prosesi ini keluarga pewaris tabut menggunakan protokol kesehatan. Mulai dari menggunakan masker, tidak terlalu ramai, tidak berkerumun dan mencuci tangan.
''Prosesi ini tetap dilakukan. Kalau tidak digelar artinya akan padam. Ini jangan sampai padam. Walaupun sederhana tetap ada. Tradisi ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu,'' kata Syiafril, saat ditemui usai prosesi pengambilan tanah, Rabu (19/8/2020), malam.
Tahun ini, sampai Syiafril, dihalangi dengan covid-19. Sehingga prosesi yang dilakukan tidak terlalu ramai. Sebab jika terlalu ramai dikhawatirkan Covid-19 akan menyebar. Sebab, orang yang datang tidak diketahui berasal dari mana dan datang dari mana.
''Protap dalam prosesi pengambilan tanah tetap kami jalankan. Pakai masker, tidak terlalu banyak, selalu cuci tangan,'' sambung Syiafril.
Tradisi ini, jelas Syiafril, digelar secara turun menurun setiap tahun di bulan Muharram dilakukan masyarakat keluarga pewaris Tabut dengan menggelar upacara tradisional Tabut.
Hal ini untuk mengenang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib, dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Irak pada 10 Muharram 61 Hijriah (681 M).
Istilah Tabut berasal dari kata Arab yang secara harafiah berarti "kotak kayu" atau "peti". Di mana, upacara ini dilaksanakan dari 1 sampai 10 Muharram (berdasar kalendar Islam) setiap tahun.
''Tradisi ini setiap tahun digelar secara turun menurun di bulan Muharram untuk mengenang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib,'' pungkas Syiafril.
(Arief Setyadi )