Keduanya resmi menikah pada 15 Juni 1887. Anak pertama mereka adalah Raden Soekarmini, yang juga dikenal sebagai Bu Wardoyo, yang lahir pada 29 Maret 1898. Setelah itu mereka pindah ke Surabaya.
Lalu, pada tanggal 6 Juni 1901, Ida Ayu melahirkan Soekarno atau dikenal sebagai ‘Putera Sang Fajar’ di Surabaya sekitar Makam Belanda Kampong Pandean III, saat genap berusia 20 tahun.
Ida Ayu mendidik kedua anaknya dengan bekal spiritual pengajaran Hindu, sesuai dengan yang pernah dipelajarinya.
Enam bulan kemudian, Ida Ayu mengikuti suaminya ke kota kecil kecamatan Ploso, Jombang, namun saat tinggal di sini, kesehatan kedua anaknya tidak terlalu baik. Akhirnya, karena faktor kesehatan, Ida Ayu sempat berpisah dengan Soekarno karena harus dirawat dan diasuh oleh mertuanya di Tulung Agung.
Ida Ayu bertemu kembali dengan Soekarno saat mereka harus pindah ke Mojokerto. Di sini pula, sang putri sulung menikah dan kemudian tinggal bersama suaminya. Ida Ayu kala itu sangat sedih karena harus berpisah dengan putri sulungnya, namun akhirnya ia memilih untuk fokus merawat Soekarno. Namun, tidak berhenti disitu, Ida Ayu juga harus menetapkan pilihannya ketika ia harus mengikuti suaminya bertugas di Blitar, sedangkan Soekarno harus bersekolah di Surabaya. Dengan berat hati, ia mengikuti suaminya dan menitipkan Soekarno di rumah HOS Cokroaminoto untuk meneruskan sekolahnya.
Di Blitar, Ida Ayu tinggal di asrama sekolah yang sekarang dikenal dengan Sekolah Menengah Umum 1 Blitar. Dirinya dipercaya untuk mengelola asrama dan sekaligus mengurus makan para pelajar yang tinggal di asrama tersebut.
Blitar juga menjadi saksi kebahagiaan dari Ida Ayu yang saat itu menikahkan Soekarno dengan putri HOS Cokroaminoto, Utari. Namun, kemudian Soekarno memilih untuk menceraikannya. Perasaan Ida Ayu pun hancur, tetapi dirinya hanya bisa mengatakan, “Pilihlah jalan yang terbaik, dan kalau itu niatmu, silahkan jalani dengan baik.”
Perasaan haru, khawatir, suka dan duka selalu dirasakan Ida Ayu tiap kali sebuah peristiwa terjadi oleh Soekarno. Ida Ayu kembali merasa terharu saat putranya kembali ingin menikah bersama dengan janda bernama Inggit Ganarsih, di Bandung. Akan tetapi, perasaan khawatir dan duka kembali harus dirasakannya kala mendengar berita Soekarno harus dipenjara di Penjara Sukamiskin Bandung, ia pun langsung datang ke Bandung dan berniat menemui anaknya. Ketidaktahuannya akan politik membuat Ida Ayu diusir oleh petugas Belanda, alih-alih dapat menemui putranya.
Sejak saat itu, Ida Ayu sangat memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap orang Belanda. Disaat bersamaan, rumahnya yang di Blitar diawasi oleh pejabat kala itu karena putranya dianggap melawan penjajah Belanda. Pengalamannya di rumah tahanan, membuat Soekemi untuk memutuskan pensiun dini sebagai guru dari Kementrian Pendidikan Belanda di Batavia. Ida Ayu pun terus mendampingi suaminya di Blitar, sambil menunggu surat kabar atau berita yang dibawa oleh kenalan dan saudaranya tentang Soekarno baik di dalam maupun di luar tahanan.
Ida Ayu juga mendengar berita saat Soekarno memilih untuk bercerai dengan Inggit dan menikah dengan Fatmawati. Hasil pernikahan keduanya menghasilkan seorang cucu yang sangat diharapkan oleh Ida Ayu dan Soekemi, keduanya melihat secara langsung kelahiran cucu mereka di Jakarta.
Kebahagiaan atas lahirnya seorang cucu tidak berlangsung lama, Ida Ayu harus menghadapi kenyataan saat suaminya mengalami sakit keras saat di Jakarta dan akhirnya meninggal pada tanggal 8 Mei 1945. Ida Ayu pun memilih kembali ke Blitar dan di hari tuanya, saat Soekarno sudah menjadi orang pertama di Indonesia, Ida Ayu tidak pernah mau menginjakkan kaki di Istana Negara.
Pada 12 September 1958, Ida Ayu Nyoman Rai Srimben meninggal dunia dan dimakamkan berdampingan dengan suami, Soekemi dan putranya, Soekarno.
Kisah Ida Ayu bersama dengan Soekemi menjadi pelopor perkawinan campuran antar suku, sehingga memberikan inspirasi juga untuk Soekarno menyatakan Nusantara menjadi Republik Indonesia.
(Khafid Mardiyansyah)