Pada Desember, Pakistan, negara yang memberikan dukungan kepada pemerintahan Taliban di Afghanistan, menggelar Pertemuan Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) guna membahas krisis yang terjadi di Afghanistan dan menggalang dana untuk mengatasi krisis kemanusiaan di negara itu.
Pertemuan yang dihadiri juga oleh Indonesia itu menyepakati dibentuknya dana perwalian untuk membantu Afghanistan.
Terlepas dari itu, dunia internasional masih ragu untuk menyalurkan bantuannya ke Afghanistan. Pasalnya, ada kekhawatiran akan penyalahgunaan oleh pemerintah Taliban yang berkuasa, yang hingga saat ini masih belum mendapatkan pengakuan.
Meski Taliban telah berulang kali mendesak komunitas internasional untuk mengakui pemerintahannya di Afghanistan, Negara-Negara Barat enggan melakukannya tanpa ada jaminan perbaikan situasi hak asasi manusia (HAM) di negara itu.
Isu HAM memang menjadi masalah yang terus mengemuka setelah pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban. Kelompok Islamis itu memberlakukan hukum Islam yang ketat, yang dianggap membatasi hak-hak warga Afghanistan, terutama kaum wanita, saat berkuasa dua dekade lalu.
Setelah melengserkan pemerintahan Presiden Ashraf Ghani, Taliban telah berjanji akan lebih moderat dalm memerintah di Afghanistan. Namun, nyatanya kelompok itu tetap memberlakukan aturan yang membatasi hak asasi warganya, terlebih kaum perempuan.
Taliban belum memenuhi janjinya untuk memberikan hak yang lebih baik kepada kaum wanita. Perempuan di Afghanista masih dilarang bersekolah, bekerja di sektor publik, bahkan bepergian tanpa didampingi laki-laki.
Ironisnya, situasi HAM ini semakin memburuk di penghujung 2021 dan diprediksi akan semakin parah di 2022.