Jejak Berdarah Tentara Dai Nippon di Bendungan Niyama Tulungagung

Avirista Midaada, Jurnalis
Minggu 14 Agustus 2022 09:41 WIB
Foto: Okezone
Share :

TULUNGAGUNG – Bendungan Niyama menjadi bangunan tak terpisahkan bila bicara kesuburan tanah di Kabupaten Tulungagung hingga kemajuan pertaniannya. Namun dibalik bangunan megah di Bendungan Niyama atau yang dikenal dengan Terowongan Niyama tak jauh dari jalan lingkar selatan (JLS) tersimpan kisah kelam kerja paksa saat pembuatan bendungan ini.

(Baca juga: Kisah Romusha di Balik Pembangunan Terowongan Niyama)

Kerja paksa atau yang dikenal dengan romusha ini guna membuat sebuah saluran air atau parit dan terowongan yang dinamakan Terowongan Niyama. Konon banyak korban dari pendirian bendungan yang ada di Dusun Tumplak, Desa Besuki, Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung ini.

Sejarawan Tulungagung Latif Kusairi menyebutkan, bila parit – parit dari anak Sungai Brantas yakni Kali Ngrowo dibuat hingga menuju Terowongan Niyama, yang kemudian dialirkan ke Samudera Indonesia yang berada di selatan Kabupaten Tulungagung. Hal ini karena rawa – rawa yang banyak terdapat di Campurdarat, Tulungagung mengalami pendangkalan pasca adanya letusan Gunung Kelud, sehingga saat hujan deras aliran air sulit mengalir karena rawa mengalami pendangkalan.

“Dulu wilayah Kabupaten Tulungagung ini sering dilanda banjir besar karena banyaknya rawa - rawa saat masa penjajajah Jepang, lalu oleh Jepang dibawah Residen Kediri Enji Kihara dibangunlah parit raya, parit agung, dan terowongan Niyama. Panjang parit ke terowongan ini ada 4 kilometer,” ucap Latif, kepada Okezone, Minggu (14/8/2022).

Dari sanalah kisah kelam terjadi, penjajah Jepang memerintahkan kencho, istilah sebutan bupati, yang kala itu dijabat Raden Djanoeismadi beserta camat dan kepala desa kala itu menyediakan tenaga – tenaga manusia untuk dipekerjakan membuat parit dan terowongan tersebut.

“Awalnya mereka (Jepang) ini mengiming – imingi pekerja akan diberikan upah, namun dalam perjalananya upah itu nggak ada, hanya beberapa saja yang diberikan upah. Lainnya dipekerjakan paksa oleh Jepang. Total sekitar ada 20 ribu orang dipekerjakan romusha,” terang sejarawan kelahiran Tulungagung ini.

“Romusha terjadi bukan hanya saat pembuatan terowongan, tapi juga parit raya dan parit agung,” sambungnya.

Pekerjaan pembuatan parit dan terowongan pun dimulai pada Februari 1943 dengan membuka hutan. Para pekerja romusha datang tak hanya dari Tulungagung saja, namun juga dari beberapa wilayah di Jawa Timur, seperti Kediri, Nganjuk, Blitar, Malang, dan Trenggalek, Jawa Tengah, bahkan hingga Jawa Barat.

“Jadi Februari 1943 mulai bekerja membangun parit yang mengarah ke Samudera Indonesia. Hampir ribuan orang ini didatangkan dari daerah – daerah lain juga ada dari Jawa Timur, Jawa Tengah, hingga Jawa Barat, untuk membangun saluran air atau parit yang mengarah ke selatan dan dibuang ke Samudera Indonesia,” jelas dosen sejarah di IAIN Surakarta ini.

Beragam kisah – kisah pilu selama romusha mewarnai, mulai dari para pekerja yang tak diberikan akses makanan dan minuman yang memadai hingga serangan nyamuk malaria yang kala itu cukup mematikan.

Kini saluran air dan terowongan dikelola oleh PT Jasa Tirta 1. Hal ini diakui oleh seorang Pengelola Terowongan Niyama dari staf PT Jasa Tirta 1 Suprapto. “Sekarang ini dikelola Jasa Tirta 1, sudah sejak tahun 1990-an. Memang saluran airnya itu dibangun saat penjajahan Jepang,” tukasnya.

 

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya