JAKARTA - Pulau Jawa resmi jatuh ke tangan pasukan British East India Company pada 1811 setelah Belanda menyerah kepada Inggris. Kemudian pada tahun yang sama, Thomas Stamford Raffles diangkat menjadi letnan gubernur atas perintah Baron Minto.
Dalam masa jabatannya, Raffles semakin terobsesi untuk terus menggali potensi alam yang bisa dikembangkan di Pulau Jawa. Hal ini membuatnya memperkenalkan berbagai reformasi seperti membagi wilayah Jawa menjadi 16 karesidenan, perbaikan sistem hukum keadilan dan berusaha menghapus perbudakan.
Raffles pun mendapat dukungan penuh oleh rakyat Indonesia karena dinilai menjadi titik terang kemakmuran. Selain itu, ia juga menjalani politik murah hati sehingga memiliki kepribadian yang simpatik meski dalam praktiknya tidak sama.
Meskipun begitu, kenyataannya rakyat Indonesia tetap saja mendapatkan dampak buruk terhadap kebijakan yang dilakukan Raffles.
Melansir dari Encyclopedia, berikut kebijakan Raffles yang menambah derita rakyat Indonesia. Yuk simak!
Sewa tanah atau pajak tanah
Raffles menganggap satu-satunya pemilik tanah yang sah adalah pemerintah. Sehingga rakyat menjadi penyewa dan diwajibkan membayar pajak sewa dari tanah yang diolahnya. Meskipun sebenarnya tanah tersebut milik mereka. Bagi petani yang tidak bisa membayar uang, bisa membayar dengan beras.
Pengekangan kekuasaan kerajaan
Meskipun ada beberapa kerajaan yang sudah dijanjikan untuk mendapatkan porsi yang lebih besar, tetap saja dilakukan pengekangan kekuasaan. Upacara dan tatacara yang berlaku di kerajaan-kerajaan disederhanakan. Bahkan orang-orang besar pribumi juga dibatasi pergerakannya. Inggris menganggap bahwa kemandirian atau kekuasaan kerajaan-kerajaan dan kedaulatannya akan membahayakan posisi Inggris di Nusantara.
Raffles mengirimkan laporan yang menjelaskan pentingnya Jawa bagi Inggris, tetapi kegigihannya untuk membuat Jawa layak secara finansial berbuah gagal. Namun, kontribusinya di Jawa dapat dilihat dari kenyataan bahwa ketika Belanda menerima pulau ini kembali, mereka mengadopsi banyak reformasinya.
(Rahman Asmardika)