"Ini seperti mimpi bagi kami. Kami tidak pernah mengira kami bisa sejauh ini di Thailand," ujar Rattapon Sanrak, orang yang memulai kampanye legalisasi mariyuana setelah mengalami manfaat medisnya saat mengenyam pendidikan di Amerika Serikat.
Dua kakek-neneknya, ayahnya, dan kemudian ibu Rattapon meninggal akibat kanker. Saat kembali ke Thailand dari AS untuk merawat ibunya, dia mencoba membujuk sang ibu untuk menggunakan produk ganja untuk meringankan sakitnya. Upaya Rattapon gagal kala itu. Lagipula dia kesulitan mendapat akses ganja medis yang saat itu digolongkan sebagai zat ilegal.
Apa alasan Thailand melegalisasi ganja?
Lalu apa yang menyebabkan perubahan dramatis di negara pimpinan militer konservatif yang tampaknya tidak mungkin melegalisasi ganja? Sebagian alasannya adalah politik.
Menteri Kesehatan Masyarakat Thailand, Anutin Charnvirakul, adalah sosok di balik kebijakan ini. Dia mengadopsi kebijakan legalisasi ganja sebagai janji kampanyenya dalam pemilu 2019.
Baru-baru ini dia bahkan terlihat mencicipi hidangan kari berbumbu ganja seraya mendapat sanjungan dari para petani yang berharap tanaman ganja bisa mendatangkan uang.
Kantong kekuatan partai Anutin berada di kawasan timur laut Thailand yang tergolong miskin. Kebijakan legalisasi ganja memikat kaum petani yang hanya menggantungkan hidup dari bertani padi dan tebu. Mereka memerlukan pemasukan baru.
Melalui kebijakan itu, Anutin memenuhi janjinya. Dia meyakini manfaat medis dalam ganja sehingga harapannya adalah kaum miskin Thailand bisa menanam sendiri mariyuana sebagai sarana pengobatan ketimbang membayar obat kimia yang mahal.
Alasan lainnya tentu bisnis. Tom Kruesopon memperkirakan bisnis mariyuana bisa menghasilkan US$10 miliar (Rp148 triliun) dalam tiga tahun pertama. Jumlah itu bisa meningkat jika pemerintah menggencarkan wisata ganja, yaitu turis-turis yang sengaja datang ke Thailand untuk terapi dan pengobatan menggunakan mariyuana.
(Nanda Aria)