Tiga benda pusaka penting itu adalah Kiai Sarutomo (cundrik), Kiai Barutubo (lembing), dan Kiai Abijoyo (keris).
"Keris itu dibawa Pangeran ke Batavia158 dan tetap menjadi miliknya selama pengasingan di Sulawesi, sebelum akhirnya ikut dikuburkan bersama dia di pemakamannya di Kampung Melayu, Makassar ,"ungkap Carey.
Terdapat setsa arang Diponegoro karya A.J. Bik. Ia tampak mengenakan pakaian “ulama” yang ia pakai selama Perang Jawa, yang terdiri dari sorban, baju koko (baju katun) tanpa kerah, dan jubah.
BACA JUGA:
Sehelai selempang tersampir di bahu kanan, dan keris pusakanya, Kanjeng Kiai Ageng Bondoyudo (Sripaduka Petarung Tanpa Senjata) terselip pada ikat pinggang yang terbuat dari bahan sutera berbunga-bunga.
Pipinya yang agak cekung itu, yang menonjolkan tulang pipinya yang tinggi, merupakan akibat serangan malaria yang ia derita sejak berkelana di hutan-hutan Bagelen dan Banyumas pada masa akhir perang.
BACA JUGA:
Ia juga punya tombak bernama Kiai Rondan,. Diponegoro percaya bahwa tombak keramat ini memberinya isyarat akan timbulnya kesulitan dan bahaya. Hilangnya benda itu sangat berpengaruh terhadap dirinya dan ia menganggapnya sebagai suatu tanda dari Yang Mahakuasa bahwa ia telah dikhianati oleh tiga orang panglimanya (basah) di Mataram.
Pada 11 November 1829, hari ulang tahunnya yang ke-44, ia hampir tertangkap oleh pasukan gerak-cepat ke-11 yang dipimpin oleh Mayor A.V. Michiels di daerah pegunungan Gowong sebelah barat Kedu. Waktu itu, sang Pangeran terpaksa terjun ke jurang dan bersembunyi di balik rumput gelagah tinggi untuk bisa lolos dari pasukan Belanda dari Manado.
Dengan meninggalkan beberapa ekor kuda miliknya, tombak pusaka,(*) dan peti pakaian108 (Van den Broek 1873–77, 24:91; Louw dan De Klerck 1894–1909, V:490–6), Diponegoro, yang walaupun menderita luka di kaki (Nypels 1895:153), memutuskan untuk mengembara di hutan-hutan Bagelen barat.
Hanya kedua punakawannya (pengiring pribadi), Bantengwareng (sekitar 1808–1858) dan Roto, yang mendampingi dia dalam seluruh pengembaraan itu (Louw dan De Klerck 1894– 1909, V:423; Carey 1974a:25).
Pengembaraan ini, yang pada awalnya membawa Diponegoro ke kawasan Remo yang terpencil antara Bagelen dan Banyumas, terus berlanjut hingga 9 Februari 1830 ketika perundingan-perundingan langsungnya yang pertama mulai dengan Kolonel Jan Baptist Cleerens (1785–1850).
(Fakhrizal Fakhri )