SEJARAWAN Universitas Gadjah Mada, Sri Margana menilai pengakuan Belanda soal kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 "masih setengah-setengah" karena hanya sebatas pengakuan moral dan politik tanpa konsekuensi hukum.
Belanda sebelumnya menganggap kemerdekaan RI baru terjadi pada 27 Desember 1949 ketika akhirnya Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia setelah melalui periode penuh kekerasan yang menyebabkan jatuhnya banyak korban pasca-proklamasi kemerdekaan RI pada 1945.
"Dengan secara politis mengakui 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka, otomatis apa yang mereka lakukan pada 1945-1949 adalah agresi militer, upaya menyerang kedaulatan negara yang sudah merdeka. Konsekuensi dari serangan itu dituntut, minta ganti rugi atas semuanya," kata Sri kepada BBC News Indonesia, dikutip Rabu (2/8/2023).
BACA JUGA:
Sri merujuk pada era ketika Indonesia masih berkonflik dengan Belanda yang berupaya merebut kembali Indonesia yang sudah memproklamasikan kemerdekaannya.
Dari kacamata Indonesia, periode itu dikenal sebagai "Perang Kemerdekaan", sedangkan oleh Belanda disebut sebagai periode "bersiap" yang kemudian mereka akui "telah terjadi kekerasan ekstrem" berdasarkan penelitian yang dirilis pada Februari 2022.
Menurut Sri, pernyataan PM Belanda Mark Rutte di hadapan parlemen Belanda itu "tidak sepenuhnya berkomitmen terhadap konsekuensi dari pengakuan itu".
Belanda sejauh ini tidak setuju menyebut apa yang terjadi pada periode tersebut sebagai "kejahatan perang", melainkan sebagai "kekerasan ekstrem" yang menurut Sri masih dalam ranah "abu-abu".
Ribuan Benda Bersejarah di Belanda Akhirnya Kembali ke Indonesia, Ini Urgensinya
"Pernyataan itu tidak berhenti di mengakui saja, tapi kondisional, mereka mengakui secara moral 17 Agustus 1945 sebagai kemerdekaan itu karena tidak terbantahkan atas basis penelitian yang sangat kuat. Tapi secara yuridis, tidak," kata Sri.
"Artinya, secara yuridis mereka masih mengakui kemerdekaan itu adalah penyerahan kedaulatan pada Desember 1949 itu," sambungnya.
Dia menduga Belanda pada akhirnya berani mengakui secara politik karena merasa memiliki daya tawar untuk mendiskusikan konsekuensi itu berdasarkan temuan kekerasan yang juga dialami oleh warga negara mereka di Indonesia.
Kalaupun Belanda siap dengan konsekuensi hukum dari pernyataan tersebut, Sri menuturkan bahwa Indonesia juga harus siap dengan konsekuensi itu karena korban sipil jatuh dari kedua belah pihak.
Sri juga mengingatkan agar Indonesia "tidak buru-buru" bersikap terhadap pengakuan tersebut.
"Itu peristiwa masa lampau semua, semua tindakan yang melanggar HAM semua sudah masa lalu. Jadi untuk bisa dibicarakan kembali, harus didasarkan pada penelitian historis yang kuat. Belanda sudah melakukan itu, dan ini menjadi tantangan bagi sejarawan di Indonesia," kata dia