Sejak itulah mereka keluar masuk hutan untuk bertempur dan melawan Belanda. Namun, Teuku Cik Tunong tertangkap Belanda dan dijatuhi hukuman mati. Ia mati syahid sebagai seorang pejuang.
Sepeninggal Teuku Cik Tunong, tidak lama kemudian Cut Meutia memilih kembali pendamping hidupnya. Ia seorang pejuang juga yang bernama Cik Pang Nagru.
Bersama suaminya, Cut Meutia meneruskan perjuangan . Mereka semakin gencar menyergap patroli-patroli Belanda. Sudah banyak korban dari pihak marsose yang tewas di tangan Cut Meutia dan suaminya.
Pada sebuah pertempuran, Cik Pang Nagru gugur di medan perang. Cut Meutia dengan 45 pasukan yang tersisa berhasil meloloskan diri.
Bersama pasukannya yang hanya memiliki 13 pucuk senjata, Cut Meutia melanjutkan perang secara bergerilya. Raja Sabil, putra Cut Meutia yang baru berumur 11 tahun, selalu mengikuti ibunya pergi berjuang.
Kekuatan yang tidak seimbang antara pasukan marsose Belanda dan pasukan Cut Meutia membuat banyak kerabat dan teman dekat Cut Meutia mulai merasa cemas. Mereka mengusulkan agar ia menyerah dan meminta pengampunan dari Belanda. Namun usulan itu ditolak mentah-mentah oleh Cut Meutia. Ia bertekad akan berjuang sampai mati.
Pada 1903, Sultan Mahmud Daud Syah terpaksa menyerah kepada Belanda. Peristiwa itu disusul dengan menyerahnya raja-raja lain, seperti pasukan yang dipimpin oleh Panglima Polim.
Namun Cut Meutia tidak sedikitpun mengendurkan perjuangannya.
Pada suatu hari tempat persembunyian Cut Meutia tercium oleh Belanda. Marsose menyerbu tempat persembunyian.