Kantor kejaksaan ICC menolak berkomentar pada Jumat, (14/6/2024) namun sebelumnya mengatakan pihaknya memiliki yurisdiksi untuk menyelidiki kejahatan dunia maya. Pihaknya juga mengatakan tidak dapat mengomentari hal-hal yang berkaitan dengan penyelidikan yang sedang berlangsung.
Serangan siber yang menargetkan sistem kontrol industri, teknologi yang menopang sebagian besar infrastruktur industri dunia, jarang terjadi, namun Rusia adalah salah satu negara yang memiliki sarana untuk melakukan hal tersebut, kata para peneliti keamanan siber.
Kasus ICC, yang dapat menjadi preseden bagi hukum internasional, sedang diawasi dengan ketat.
Badan hukum internasional yang mencakup konflik bersenjata, yang tertuang dalam Konvensi Jenewa, melarang serangan terhadap objek sipil, namun tidak ada definisi yang diterima secara universal mengenai apa yang dimaksud dengan kejahatan perang dunia maya.
Para pakar hukum pada 2017 menyusun buku panduan yang disebut Manual Tallinn tentang penerapan hukum internasional dalam perang siber dan operasi siber.
Namun para ahli yang diwawancarai oleh Reuters mengatakan tidak jelas apakah data itu sendiri dapat dianggap sebagai “objek” serangan yang dilarang berdasarkan hukum kemanusiaan internasional, dan apakah penghancurannya, yang dapat menimbulkan dampak buruk bagi warga sipil, dapat merupakan kejahatan perang.
“Jika pengadilan menangani masalah ini, itu akan memberikan kejelasan besar bagi kami,” kata Profesor Michael Schmitt dari Universitas Reading, yang memimpin proses Manual Tallinn.