JAKARTA - Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) atau Tentara Hindia-Belanda, menjadi tameng bagi pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Padahal, pasukan tersebut mayoritas terdiri dari pribumi. Lantas, bagaimana nasib para kombatannya setelah KNIL dibubarkan pada 26 Juli 1950 setelah bertahan 120 tahun (sejak berdiri 1830)?
Berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), pihak republik yang baru lima tahun lahir diharuskan menerima para eks-KNIL ke berbagai satuan militer republik. Sisi lain positif dari dileburkannya KNIL ke Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) adalah mereka datang beserta hibah sejumlah alutsista, macam Bren Carrier, tank ringan M3A3 Stuart, hingga tank berat M4A3 Sherman.
Para eks-KNIL sangat bermanfaat sebagai awak dan instruktur personel TNI lainnya untuk kemudian bisa belajar mengoperasikan sejumlah kendaraan tempur (ranpur). Warisan macam ini tak pelak jadi embrio lahirnya kesatuan kavaleri TNI.
Contoh lain buah manis dari warisan KNIL tak lain adalah pembentukan Kopassus (Komando Pasukan Khusus) TNI AD. Meski digagas Kolonel (Anm) Slamet Rijadi, tapi cikal-bakal salah satu kesatuan elite terbaik di dunia ini dibidani seorang mantan elite KNIL dari Korps Speciale Troepen (KST), Kapten Rokus Bernardus Visser.
Jika anda awam dengan nama Visser, mungkin akan lebih familiar dengan nama Idjon Djanbi. Ketika Belanda terpaksa mengakui kedaulatan Republik Indonesia, Visser memutuskan tak kembali ke Belanda dan menjadi mualaf di Indonesia. Skill-nya mencetak banyak prajurit handal semasa bertugas di KST, dikagumi Kolonel Alex Evert Kawilarang yang meneruskan cita-cita Slamet Rijadi untuk membentuk pasukan elite.
Singkat kata, Idjon Djanbi lantas meleburkan diri ke TNI dengan pangkat Mayor, menyusun perangkat Kesatuan Komando Teritorium Tentara III/Siliwangi (Kesko TT. III/Siliwangi) yang saat ini lebih dikenal sebagai satuan Kopassus TNI AD.
Dari KNIL pula, lahir sejumlah tokoh militer jempolan yang berpengaruh dalam jalannya sejarah republik, terutama di medan tempur pada masa revolusi. Selain para jebolan PETA (Pembela Tanah Air), para “alumnus” KNIL seperti Oerip Soemohardjo, Gatot Soebroto, juga Kawilarang, juga berasal dari didikan militer Belanda.
Tapi sayangnya tak sedikit yang menolak para eks-KNIL untuk dileburkan ke dalam APRIS, pasca-KNIL dibubarkan pada 1950. Sentimen anti-Belanda masih begitu melekat bagi para kombatan TNI yang berasal dari kelaskaran maupun PETA. Divisi III Siliwangi merupakan satu dari sedikit satuan APRIS yang mau menerima beberapa eks-KNIL.
“Tidak banyak juga yang menerima (eks-KNIL). Mungkin banyak dari (perwira) Siliwangi yang juga eks-KNIL, jadi beberapa ada yang menerima. Tapi (perwira) yang lulusan PETA dan lainnya masih ada unsur penolakan ,” ungkap penggiat sejarah revolusi Firman Hendriansyah kepada Okezone.
Soal gesekan para eks-KNIL dengan PETA ini di tubuh militer republik, sedianya sudah muncul sejak berdirinya Badan Keamanan Rakyat hingga berubah nama jadi TNI.
Meski sudah melepaskan beragam atribut KNIL sejak Jepang masuk Indonesia (1942) dan menggabungkan diri ke republik pada 1945, masih terjadi percikan dan bahkan kesenjangan. Terutama ketika para unsur KNIL ingin merombak TNI agar lebih profesional dengan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra).
“Sejak BKR/TKR berdiri. Apalagi yang masalah sentimen pas Re-Ra. Perwira TNI pangkatnya diturunkan satu tingkat, tapi yang eks-KNIL masuk TNI/APRIS tetap, tidak diturunkan pangkatnya. Anggota laskar mau masuk TNI susah, tapi yang eks-KNIL mudah. Kadang yang lulusan PETA orang lapangan, yang eks-KNIL dapat jatah di meja alias staf,” tambahnya.
“Saya jadi ingat dengan almarhum (Letkol) Eddy Sukardi. Dia pernah bilang kurang suka sama Nasution yang lulusan KNIL. Nasution pernah menyuruh dia dan pasukannya mundur 10 kilometer dari kantong gerilyanya,” lanjut Firman berkisah ketika bersua veteran Siliwangi Eddy Sukardi.
“Langsung Pak Eddy marah. Dia bilang ke Nasution, ‘tahu apa kamu soal lapangan? Anak buah saya mati di sini mempertahankan kantong gerilya. Banyak yang gugur, tahu-tahu disuruh mundur, susah payah mempertahankannya’,” imbuh Firman lagi.
Insiden APRA sebelumnya pada Januari 1950, turut memperuncing hubungan kombatan republik antara yang berasal dari kelaskaran dan PETA dan eks-KNIL. Banyaknya penolakan eks-KNIL juga seolah jadi bom waktu dan meletusnya pemberontakan, seperti pemberontakan Andi Azis hingga Republik Maluku Selatan (RMS).
Adapun beberapa yang tak mau gabung APRIS, pilih ikut diangkut Belanda dan meneruskan karier militer, seperti yang dijalani R.M. Poerbo Soemitro yang pensiun di Suriname.
Sedangkan bagi mereka yang pilih hidup sebagai sipil, lebih sering dikucilkan lantaran pernah jadi bagian dari rezim kolonial Hindia-Belanda. Mereka diperlakukan bagaikan “paria” alias manusia dengan kasta rendah yang tak dianggap.
Seperti yang dialami Abdulkadir Widjojoatmojo. Pangkat terakhirnya di KNIL mencapai Kolonel dan pasca-KNIL bubar, Abdulkadir yang lahir dari keluarga Indo-Belanda, diperlakukan seperti yang disebutkan di atas dan akhirnya, pilih emigrasi ke Belanda pada 1951. Utusan Belanda pada Perjanjian Renville itu tutup usia pada 1992 di Den Haag dan jenazahnya dipulangkan untuk dikebumikan di Karanganyar, Jawa Tengah.
(Qur'anul Hidayat)