JAKARTA - Pro kontra timbul usai pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Setelah sebelumnya soal pemberian alat konstrasepsi bagi remaja, kini peraturan tersebut diprotes karena dinilai berdampak bagi masyarakat usia produktif.
Pakar ekonomi dari Universitas Brawijaya, Prof. Candra Fajri Ananda menekankan pentingnya mempertimbangkan berbagai aspek dalam penerapan kebijakan PP Kesehatan, terutama karena kebijakan ini tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan tetapi juga pada ekonomi nasional. Dia mencontohkan dampak peraturan tersebut pada petani tembakau.
“Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) perlu dipertimbangkan berbagai aspek, yang artinya tidak hanya pertimbangan kesehatan, termasuk juga tenaga kerja, pendapatan petani, penerimaan negara, dan industri. Kita berharap ada road map IHT ke depan yang lebih jelas dan diamini oleh seluruh stakehodlers,” ujarnya, dikutip Jumat (30/8/2024).
Dia menjelaskan, PP Kesehatan berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap sektor-sektor yang sangat bergantung pada tenaga kerja. Pembatasan yang diatur dalam PP ini, seperti pengurangan jumlah kemasan, pembatasan iklan, dan pembatasan pemajangan produk tembakau. Aturan itu diproyeksikan akan menurunkan produksi dan mengakibatkan kerugian ekonomi bagi petani tembakau dan pelaku industri lainnya.
Pelemahan dan penurunan produksi ini bisa memicu pengurangan tenaga kerja, mengingat sektor tembakau adalah salah satu sektor yang padat karya. Ketika industri mengalami penurunan, pengurangan tenaga kerja atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi salah satu konsekuensi yang hampir tak terelakkan.
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa selama periode Januari-Juni 2024, jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai 32.064 orang, meningkat 21,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.