"Kita tidak bisa hanya berdiam diri. Kalau THR diterapkan, maka kualitas hidup dan angka harapan hidup masyarakat akan lebih baik. Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, dampak penggunaan produk rendah risiko menunjukkan toksisitas lebih rendah dan menurunkan inflamasi paru-paru. Ini data kami," ujar Ronny.
Senada, peneliti dan mantan Direktur Riset Kebijakan World Health Organization (WHO) Prof Tikki Pangestu menekankan pentingnya penelitian soal THR di Indonesia. Hasil penelitian tersebut akan menjadi basis awal dalam proses perumusan kebijakan agar hasilnya lebih efektif.
Penelitian mengenai THR yang sebelumnya sudah dilakukan di luar negeri belum bisa sepenuhnya menggambarkan kondisi perokok sesungguhnya di Indonesia.
"Penelitian lanjutan THR dalam konteks lokal harus diberi prioritas tinggi dan mendapat sokongan. Ini yang masih sangat kurang di Indonesia. Penelitian bisa berfokus pada dampak kesehatan dan dampak ekonomi, seperti apa perbandingannya antara rokok konvensional dengan produk alternatif," kata Tikki.
Dukungan untuk menerapkan THR sebagai salah satu cara untuk berhenti merokok turut disuarakan oleh Praktisi Kesehatan dr. Arifandi Sanjaya. Berdasarkan apa yang ditemukan ketika berhadapan langsung dengan pasien, perkembangan produk alternatif sebagai salah satu strategi THR menunjukkan adanya peningkatan kualitas hidup pasien.
"Saya sempat menerapkan [THR] pada 2014, fokus untuk mengurangi risiko tembakau. Memang ada cara-cara yang berbeda, tetapi alangkah lebih baik kalau ada yang meregulasi THR dan mengaitkannya dengan penelitian yang sudah dilakukan. Membuat orang berhenti merokok itu susahnya luar biasa. Maka perlu membatasi dosisnya, perlu diturunkan frekuensi zat berbahaya dan ditingkatkan kualitas hidupnya, akhirnya dicari produk alternatif," kata Arifandi.
(Khafid Mardiyansyah)