JAKARTA- Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil mempertanyakan mekanisme restorative justice (RJ) untuk membebaskan dua tersangka WNA asal India yakni AS dan SH. Hal ini terkait dugaan kasus penggelapan dana perusahaan Arab Saudi.
Komisi III DPR RI memastikan akan mempertanyakan hal tersebut kepada jajaran korps bhayangkara saat rapat kerja atau raker bersama.
“Kalau diselesaikan oleh mekanisme Restorative Justice tentu patut dipertanyakan. Saya pikir harus dievaluasi dan nanti kita akan pertanyakan saat raker di Komisi III,” kata dia, Selasa (11/3/2025).
Lebih lanjut, Nasir Djamil mengatakan, jika mekanisme restorative justice biasanya hanya digunakan untuk pidana ringan bukan kasus dugaan penggelap dana.
Namun dia memahami bila saat ini muncul kecurigaan dalam kasus penggelapan dana perusahaan besar Arab Saudi yang telah berinvestasi di Indonesia sejak tahun 2012. “Sebab untuk RJ biasanya pidana ringan,” ungkap Nasir.
Nasir mendorong pihak-pihak yang dirugikan terkait dengan kasus pembebasan dua tersangka WNA asal India yakni AS dan SH dalam kasus penggelapan dana perusahaan besar Arab Saudi yang telah berinvestasi di Indonesia untuk melapor ke bagian internal yang mengawasi penegakan hukum polisi.
“Jika ada kekeliruan dan kecurigaan dalam penanganan dan penyelesaian masalah hukum itu, maka segera dilaporkan ke bagian internal yang meluruskan dugaan penyimpangan dan institusi yang mengawasi penegakan hukum di kepolisian,” pungkasnya.
Diketahui, perusahaan besar Arab Saudi yang telah berinvestasi sejak tahun 2012 di Indonesia melaporkan adanya tindak penggelapan dana yang dilakukan dua WNA asal India yakni AS dan SH ke Polda Metro Jaya.
Laporan itu dilayangkan perusahaan besar Arab Saudi tersebut usai mengalami kerugian hingga mencapai sekitar USD 62.000.000 akibat tindakan penggelapan yang dilakukan dua WNA asal India tersebut.
“Laporan polisi bernomor No.LP/B/5281/X/2022/SKPT tentang dugaan tindak pidana menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik dan atau penggelapan dalam jabatan yang melanggar pasal 266 KUHP dan atau pasal 374 KUHP,” bunyi laporan itu.
(Fahmi Firdaus )