Ponpes Al Khoziny Ambruk, DPR Soroti Pentingnya Perencanaan Pembangunan!

Danandaya Arya putra, Jurnalis
Minggu 05 Oktober 2025 22:36 WIB
Anggota Komisi V DPR Sudjatmiko (Foto: Ist)
Share :

JAKARTA – Anggota Komisi V DPR RI Sudjatmiko menyoroti ambruknya bangunan di Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur yang menelan banyak korban jiwa. Menurutnya, kejadian itu menjadi peringatan keras mengenai lemahnya budaya konstruksi aman di Indonesia.

“Dalam perspektif teknik sipil, sebuah bangunan seharusnya tidak runtuh secara tiba-tiba jika sejak awal perencanaan, perancangan, hingga pelaksanaan pembangunan mengikuti prinsip-prinsip standar yang telah ditetapkan. Kejadian ini menjadi pelajaran bahwa tidak boleh lagi ada nyawa melayang akibat pembangunan yang dilakukan tanpa perencanaan memadai,” ujarnya lewat siaran pers, Minggu (5/10/2025).

Sudjatmiko mengatakan, ambruknya bangunan sering kali buru-buru dilabeli sebagai ‘takdir’ atau ‘musibah alamiah’. Padahal, pada banyak kasus, termasuk di pesantren, penyebab utama justru terletak pada kegagalan konstruksi.

“Kedua, penggunaan material yang tidak memadai. Demi menekan biaya, material sering diganti dengan kualitas rendah. Baja tulangan, semen, atau pasir yang tidak sesuai spesifikasi berkontribusi pada lemahnya daya dukung bangunan,” imbuh politikus PKB itu.

Kemudian, minimnya pengawasan konstruksi. Tahapan pembangunan sering tidak diawasi oleh insinyur sipil bersertifikat. Padahal, fungsi pengawasan krusial untuk memastikan pembangunan berjalan sesuai rencana teknis.

Selanjutnya, ketidaktahuan terhadap kondisi tanah. Banyak lembaga maupun individu tidak memiliki gambaran tentang struktur tanah tempat bangunan didirikan. Sidoarjo, misalnya, merupakan wilayah dengan kontur tanah yang sebagian berupa tanah lunak. Tanah jenis ini memerlukan pondasi yang kuat dan desain khusus. Tanpa kajian geoteknik, bangunan rentan amblas atau miring sebelum waktunya.

Sudjatmiko mengungkapkan, dalam disiplin teknik sipil, kegagalan struktur tidak pernah terjadi begitu saja. Ada yang disebut faktor keamanan (safety factor) dalam setiap desain. Bahkan, jika material lebih lemah atau beban lebih berat dari perkiraan, seharusnya bangunan masih mampu menahan beban hingga batas tertentu. 
Ambruknya gedung secara mendadak menandakan adanya kesalahan serius sejak tahap awal—baik pada perhitungan, pemilihan material, maupun eksekusi di lapangan. 

Selain itu, konstruksi pendidikan atau keagamaan seperti pondok pesantren memiliki beban sosial yang besar. Ratusan santri menempati asrama, masjid, dan ruang belajar dalam satu kawasan. Artinya, setiap kesalahan teknis bukan hanya soal bangunan roboh, melainkan juga soal nyawa manusia yang dipertaruhkan.

Tragedi Al Khoziny harus menjadi pelajaran penting bagi ratusan pondok pesantren lain di Indonesia yang sedang atau akan membangun fasilitas baru. Setiap pihak harus mematuhi regulasi yang mengatur tentang bangunan gedung yakni UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang kemudian turunannya adalah Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2021 sebagai aturan pelaksanaannya.

Peraturan tersebut mengatur tentang fungsi bangunan gedung, standar teknis, proses perizinan melalui Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung (SIMBG), serta fungsi dan kewenangan pemerintah dalam pembinaan pembangunan sampai dengan sanksi administratif bagi pelanggar.

Ia pun memaparkan beberapa langkah mitigasi yang bisa dilakukan, yakni 1.) Melibatkan ahli sejak awal. Setiap pembangunan harus melibatkan konsultan teknik sipil dan arsitek berizin. Perhitungan struktur dan pondasi wajib dilakukan sesuai standar nasional (SNI); 2.) Standar mutu bahan bangunan dan metode pengujiannya harus jelas dan sesuai dengan prosedur yang berlaku, sesuai SNI 1726:2019 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung.

Kemudian, 3.) Audit kelayakan bangunan. Pemerintah daerah bersama asosiasi profesi teknik sipil dapat melakukan audit bangunan pesantren, terutama yang menampung ratusan santri. Audit ini mencakup kondisi pondasi, kolom, balok, hingga kualitas material. Lalu, 4.) Regulasi yang lebih tegas. Pembangunan fasilitas pendidikan berbasis komunitas, termasuk pesantren, perlu dipayungi regulasi teknis yang ketat. Tidak boleh lagi ada pembangunan tanpa izin mendirikan bangunan (IMB), perhitungan struktur, atau pengawasan profesional.

Selanjutnya, 5.) Edukasi dan sosialisasi. Pesantren perlu didampingi agar memahami pentingnya aspek keselamatan konstruksi. Kesadaran bahwa bangunan aman adalah bagian dari tanggung jawab moral dan spiritual harus ditanamkan. Dan, 6.) Dana khusus renovasi dan standarisasi. Pemerintah dapat menyediakan skema bantuan khusus bagi pesantren yang ingin memperbaiki atau membangun gedung sesuai standar konstruksi. Hal ini sekaligus menjadi investasi dalam keselamatan generasi muda.

Ia menekankan, agar kejadian salah struktur bangunan tidak boleh lagi mengorbankan nyawa. Ambruknya bangunan pesantren bukan sekadar tragedi arsitektural, tetapi juga tragedi kemanusiaan. Selama pembangunan masih dianggap cukup dengan ‘niat baik’ tanpa diiringi standar teknis yang ketat, risiko kejadian serupa akan terus menghantui.

“Pesantren merupakan pusat pendidikan dan pembinaan moral generasi bangsa. Sudah seharusnya kualitas bangunannya mencerminkan keseriusan dalam melindungi penghuninya. Dari perspektif teknik sipil, setiap bangunan yang gagal adalah alarm keras: ada kesalahan yang harus diperbaiki. Jangan sampai tragedi Sidoarjo hanya menjadi berita sesaat, tanpa meninggalkan perubahan nyata dalam praktik pembangunan pesantren di Indonesia,” pungkasnya.

(Arief Setyadi )

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya