Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Mahasiswa Pertama UGM, Tempuh Kuliah Sembilan Tahun

Mahasiswa Pertama UGM, Tempuh Kuliah Sembilan Tahun
Image: corbis.com
A
A
A

MENJADI mahasiswa pertama UGM yang memiliki nomor mahasiswa 001 ternyata tidak lantas membuat Prof. Ir. Hardjoso Prodjopangarso berbangga hati. Menurut pria yang hingga kini masih aktif bekerja tersebut, kejadian mahasiswa pertama merupakan suatu kebetulan belaka.

Pria kelahiran Solo 88 tahun lalu ini awalnya merupakan mahasiswa teknik perguruan tinggi milik Jepang yang bernama Kogyo Daigaku (Perguruan Tinggi Teknik Bandung). Usai Jepang menyerah kepada RI pada 1945, Hardjoso menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik Bandung di Yogyakarta yang merupakan perguruan tinggi cikal bakal Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Hardjoso tercatat sebagai mahasiswa sejak 1944. “Pada Desember 1949, setelah peristiwa Jogja Kembali, STT Yogyakarta berubah menjadi UGM. Karena perubahan itulah, UGM menggelar pendaftaran ulang bagi para mahasiswanya. Kebetulan saya yang mendaftar ulang pertama di FT UGM,” ungkapnya.

Hardjoso mengaku sangat tertarik mendalami ilmu teknik sipil sejak awal. Alasannya, teknik sipil merupakan bagian ilmu teknik yang menyelenggarakan dan mempelajari sarana prasarana seperti jalan, jembatan, dan gedung umum. “Menyediakan sarana prasarana sebagai pelayanan rakyat itulah yang membuat saya tertarik,” imbuhnya.

Sambil sesekali berhenti berbicara mengingat-ingat masa mudanya, Hardjoso menceritakan betapa susahnya perjuangan para mahasiswa UGM pada saat peperangan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Suasana peperangan dirasakannya lebih dominan. Zaman itu semua mahasiswa turun mengangkat senjata.

“Saya mengalami dua peristiwa sejarah penting saat berjuang yakni Agresi Militer Belanda satu dan dua. Mahasiswa semua ikut berjuang sampai membentuk serdadu pasukan khusus mahasiswa yang dijuluki Korp M (Mahasiswa),” paparnya.

Dalam masa peperangan tersebut, ayah tujuh anak dan kakek dari sebelas cucu ini sempat menjadi Kepala Staf Korp M Brigadir 17 dengan pangkat terakhir letnan satu. Masa-masa penuh gejolak tersebut dialami hingga 1949. Pada 1950, dia mengalami demobilisasi (perpindahan status dari militer ke sipil) dan kembali melanjutkan aktivitas sebagai mahasiswa UGM. “Kenangan yang paling berkesan bagi saya ialah saat harus masuk kuliah lagi usai perang. Bagi kami mahasiswa, kondisi tersebut sangat berat untuk menyesuaikan diri kembali. Dan yang paling kasihan lagi dosen-dosen kami yang bahkan terkadang tidak datang mengajar. Istilahnya priker,” kata Hardjoso.

Suami dari Sri Saptariah ini ternyata pernah dijebloskan ke penjara oleh Belanda selama kurang lebih enam bulan pada masa perang. Saat itu ia dan dua teman seperjuangannya sedang berada di lereng Gunung Wilis. Mereka ditangkap oleh pasukan Oz Kompi Belanda setelah sempat membunuh salah satu dari tentara Belanda karena terbukti membawa alat peledak. “Tapi begitu pimpinan pasukan Belanda tersebut tahu kami mahasiswa, kami malah dibawa ke Madiun. Sebelum dibawa ke Madiun, kami diajak berdiskusi bukan tentang perang, namun tentang diferensial integral. Rupa-rupanya, pimpinan pasukan Belanda itu ingin membandingkan ilmu yang ada di Indonesia dengan negaranya,” papar mantan pembantu Dekan III FT UGM ini.

Hardjoso menuturkan, di Madiun itulah dia dipenjara dan baru dibebaskan setelah kemenangan perang enam jam di Yogyakarta yang diberi nama peristiwa Jogja Kembali. Akhirnya pada 1953, dia berhasil menyelesaikan studi di UGM.

Ayah dari maestro gamelan kontemporer Yogyakarta, Sapto Rahardjo ini akhirnya menepati janji untuk kembali dan mengabdikan ilmu pengetahuannya di UGM. (ratih keswara/sindo) (rfa)

(Rani Hardjanti)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement