SURABAYA- Nama Sutomo atau Bung Tomo melekat dalam peristiwa 10 November 1945 karena pidatonya yang membakar semangat arek-arek Suroboyo untuk bertempur mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang hendak direbut kembali oleh Belanda dan Sekutu.
Ternyata, sebagai seorang wartawan radio, Bung Tomo juga memiliki kedekatan dengan KH Wahab Chasbullah dan KH Hasyim Asy'ari.
Menurut sejarawan NU Choirul Anam, sebelum pertempuran 10 November 1945, Bung Tomo intens berkomunikasi dengan KH Wahab Chasbullah. Bahkan, pria kelahiran Surabaya ini sering datang ke kediaman KH Hasyim Asy'ari di Dusun Tebuireng, Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Jombang.
"Bung Tomo adalah wartawan radio. Dia datang ke Tebuireng berdiskusi dengan Mbah Wahab dan Mbah Hasyim. Rupanya, mereka memiliki misi yang sama yakni mempertahankan kemerdekaan Indonesia," tutur Cak Anam kepada Okezone di Graha Amerta, Surabaya.
Lagi-lagi kaum santri berperan besar. Sebagai seorang wartawan radio, gaya siaran Bung Tomo yang berapi-api membuat merah telinga Belanda.
Ungkapan Bung Tomo yang menyatakan "daripada hidup terjajah lebih baik mati berkalang tanah" merupakan terjemahan dari pernyataan Mbah Hasyim yang menyatakan "Hidup Mulia atau Mati Syahid".
Bung Tomo dilarang siaran karena nadanya memprovokasi rakyat untuk melawan penjajah. Bahkan, di Radio Surabaya (saat ini RRI Surabaya), Bung Tomo dilarang mengudara.
Memang saat itu media yang paling efektif adalah radio karena bisa didengar dimana-mana. Sementara, koran-koran milik pejuang sudah dilarang terbit.
Bung Tomo pun berinisiatif untuk membuat radio sendiri. Tujuannya bisa bebas mengudara untuk menyuarakan perlawanan melawan penjajah. Saat itu, Bung Tomo memiliki teman bernama Hasan Basri yang merupakan kader NU di Surabaya.
Hasan Basri ini bekerja di toko elektronik di Kawasan Tanjung Perak, Surabaya. "Dia (Hasan Basri) mencuri bahan-bahan untuk membuat radio dan kemudian membuat radio bersama Bung Tomo. Untuk menghidari penjajah, radio ini sering berpindah-pindah tempat. Terakhir radio milik Bung Tomo berkantor di Malang," jelasnya.
Selain mahir memprovokasi massa, sebagai wartawan radio, Bung Tomo juga piawai dalam organisasi. Pasca pertemuan dengan KH Wahab Chasbullah dan KH Hasyim Asy'ari, Bung Tomo membuat barisan perlawanan penjajah yang dinamakan BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia).
Barisan ini sering menggelar rapat dan konsolidasi di salah satu rumah di Kawasan Jalan Biliton, Surabaya.
"Bung Tomo cerdik betul. Di RRI enggak boleh dipakai siaran dia bikin radio sendiri. Siaran Bung Tomo ini didengar dimana-mana. Puncaknya, adalah peristiwa penyobekan bendera Belanda di Hotel Oranye yang menjadi pemicu pertempuran 10 November itu," jelasnya.
(Muhammad Saifullah )