Estetika bahasa ini memiliki fungsi etis tinggi. Ta’ridh mengajarkan agar tak serampangan berdialog namun harus memilih padanan kata yang tak mengguncang stabilitas emosi. Gaya bahasa menyindir selain untuk menghindari kisruh sosial juga menciptakan asumsi apologis bagi tertuduh.
Maryam tak serta merta dihina sebagai pelacur, orang jahat atau wanita penyeleweng. Bahkan, di awal kalimat, para petinggi Israil ini menyebut Maryam sebagai saudara perempuan Harun yang menunjukkan eksistensinya sebagai wanita sebangsa sekaligus wanita saleh. Kalimat sindirian Bani Israil tak mengeluarkan Maryam dari teritori kebangsaannya.
Estetika ini juga memiliki makna memancing rasio untuk berpikir bukan memancing emosi untuk naik darah. Kalimat sindiran bagi Maryam mampu membangun wawasan tak terpikirkan tentang keadaban Bani Israil. Asal tahu saja, adab seperti ini bukan saja dilakukan di masa Maryam hidup namun sejak Bani Israil masih berbentuk Usbah (kumpulan orang), embrio sebuah bangsa.
Awal-awal surat Yusuf menjelaskan bagaimana adab putra-putra Ya’kub yang merupakan leluhur Bani Israil. Ketika berencana membunuh Yusuf, sepuluh saudara Yusuf itu masih memiliki obyektifitas. Mereka masih berpikir obyektif, meski nalar obyektifitas itu ditumpulkan iri hati. Mereka berkata sebagaimana diabadikan Alquran.
“Sesungguhnya Yusuf dan saudaranya (Bunyamin) lebih dicintai ayah kita daripada diri kita” (QS 12:8). Ayat ini mengajarkan bahwa sejahat apapun saudara-saudara Yusuf, mereka masih terikat obyektifitas bahwa ayah mereka, Ya’kub tetap menyayangi mereka, hanya porsi takaran kasih sayang itu lebih besar diberikan kepada Yusuf dan Bunyamin. Mereka tak serta merta menuduh Ya’kub total mengabaikan mereka.
Gaya bahasa itu menurut DR Fuad Al Aris dalam Latha’if Tafsir Min Shurah Yusuf menunjukkan bahwa leluhur Israel masih memiliki adab dan obyektifitas. Obyektifitas ini juga mengemuka ketika nama Yusuf disebut dalam perbincangan diantara mereka (QS 12:10).