Banyak kalangan dan pemberitaan media asing menyebut memperbaiki pecahnya hubungan Rusia-Turki pastinya tak akan semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan pada 2016 atau tahun-tahun yang akan datang, banyak pihak yang memprediksi perseteruan Turki-Rusia masih akan ada di berbagai aspek.
Sebab, sejatinya Rusia dan Turki memang memiliki sejarah panjang dalam hal perseteruan kedua negara yang sedianya saling membutuhkan di bidang energi dan komoditas itu.
Tercatat sejak Turki masih dikuasai Kekaisaran Ottoman/Turki-Usmani, kedua negara telah berhadapan setidaknya dalam selusin perang. Kekaisaran Turki-Usmani, yang dipisahkan Kekaisaran Rusia oleh Laut Hitam dan Persemakmuran Polandia-Lithuania, ketika itu berambisi memperluas kekuasaannya.
Langkah yang sama juga dilakukan oleh Kekaisaran Rusia, sehingga menimbulkan Perang Russo-Turkish yang pecah pada 1568 hingga 1570. Sejarah itu jelas menggambarkan bagaimana kedua negara memang memiliki latar belakang untuk kembali memunculkan perseteruan seperti yang terjadi karena dipicu insiden Sukhoi saat ini.
Berbagai prediksi mengenai konflik Rusia-Turki ke depan juga muncul dari pakar politik internasional asal Indonesia. Salah satunya adalah pakar politik internasional yang saat ini tengah menempuh pendidikan untuk meraih gelar doktornya di Universitas Fatih di Turki yakni Arya Sandhiyudha.
Menurut Arya, 2016 merupakan awal munculnya peta dunia baru yang diperkuat dengan adanya konflik Rusia-Turki itu sendiri. Menurut pria berusia 33 tahun tersebut, bahkan di 2016 dan tahun-tahun berikutnya, konflik Rusia-Turki masih akan intens dalam bentuk perseteruan ekonomi.
“Saya pikir, konflik Rusia-Turki masih akan intens di 2016 dan tahun-tahun berikutnya, dalam bentuk perseteruan ekonomi dan implikasinya bagi perubahan drastis relasi kedua negara dengan negara-negara lain,” ungkap Arya, ketika ditemui Okezone di Jakarta, Selasa (5/1/2016).
“Contoh, demi mengantisipasi krisis energi, Turki kini menormalisasi hubungannya dengan Israel yang sempat retak gara-gara peristiwa Mavi Marmara di 2010. Hal itu dilakukan Turki karena sekarang hubungannya dengan Rusia, yang jadi salah satu negara pengekspor energi gas terbesar ke Turki, telah hancur,” lanjut Arya.